Jumat 02 Sep 2022 09:14 WIB

Siswa Ukraina Kembali Sekolah Tatap Muka

Para siswa berbagi kisah tentang selamat dari perang.

Rep: Dwina Agustin/ Red: Esthi Maharani
Wanita dengan anak laki-laki mengunjungi area sekolah yang rusak parah setelah penembakan Rusia, di kota Zhytomyr, barat laut Ukraina, 20 Maret 2022.
Foto: EPA-EFE/ROMAN PILIPEY
Wanita dengan anak laki-laki mengunjungi area sekolah yang rusak parah setelah penembakan Rusia, di kota Zhytomyr, barat laut Ukraina, 20 Maret 2022.

REPUBLIKA.CO.ID, MYKHAILO-KOTSYUBYNSKE -- Hari pertama masuk sekolah di Ukraina jatuh pada Kamis (1/9/2022). Hanya saja para siswa tidak berbagi kenangan liburan yang menyenangkan dengan keluarga, mereka justru berbagi kisah tentang selamat dari perang. Bagi banyak orang, hari terakhir sekolah mereka adalah sehari sebelum invasi Rusia 24 Februari.

Menurut kantor Jaksa Agung Ukraina, sekitar 379 anak telah gugur sejak perang dimulai, sementara keberadaan 223 lainnya tidak diketahui. Terdapat 7.013 anak lainnya termasuk di antara warga Ukraina yang dipindahkan secara paksa ke Rusia dari daerah yang diduduki.

Perang enam bulan merusak 2.400 sekolah di seluruh negeri, termasuk 269 yang hancur total. Daerah sipil dan sekolah terus dihantam, serta anak-anak terus dibunuh.

Tapi setelah bulan-bulan pertama kejutan dari perang, 51 persen sekolah di Ukraina, terlepas dari risikonya, dibuka kembali untuk pendidikan tatap muka. Terdapat opsi untuk belajar daring jika orang tua menginginkannya.

Sekolah-sekolah di wilayah Kiev dan Lviv termasuk yang menyambut siswa kembali ke ruang kelas pada Kamis. Mereka termasuk lebih dari 7.300 siswa terlantar yang terpaksa meninggalkan kampung halaman mereka.

Lingkungan Irpin, utara Kiev yang masih menanggung bekas luka perang dengan rumah-rumah yang hancur dan pagar serta dinding yang ditandai pecahan peluru. Namun anak-anak kelas satu berbaris dengan penuh semangat untuk hari pertama kelas di sekolah yang baru direnovasi.

Dihantam misil pada hari-hari awal perang, Sekolah Irpin Nomor 17 dibangun kembali dengan bantuan UNICEF. Bau samar cat baru masih tertinggal saat para siswa berjalan ke ruang kelas mereka bergandengan tangan.

“Tahun ini berbeda dengan yang lain. Kami berada dalam situasi perang,” kata guru kelas satu Olga Malyovana.

“Kami benar-benar khawatir tentang anak-anak dan keselamatan mereka, tetapi kami memperbaiki semua fasilitas, kami memiliki tempat berlindung, ujarnya.

Urutan pertama hari itu adalah latihan evakuasi, dengan alarm kebakaran berbunyi dan semua anak berbaris untuk menuju ke tempat perlindungan bom bawah tanah atau area aman di koridor. "Ini menjadi hal yang normal baru bagi anak-anak,” kata Direktur Eksekutif UNICEF Catherine M. Russell.

"Itu bukan cara anak-anak harus menjalani hidup, berpikir bahwa mereka akan diserang kapan saja," ujarnya.

Oleksandra Urban datang untuk mengantar putrinya yang berusia 6 tahun, Veronika. Kegelisahan normal pada hari pertama sekolah bercampur dengan kekhawatiran tentang kelas selama masa perang, meskipun penyerangan di Kiev dan daerah sekitarnya sekarang jarang terjadi.

Urban menjelaskan kepada Veronica cara mengungsi ke tempat perlindungan bom. “Dia khawatir hanya ketika saya khawatir. Itu sebabnya saya mencoba untuk tenang," ujarnya.

Urban dan suaminya membahas pembelajaran jarak jauh untuk Veronika, tetapi memutuskan kehadiran fisik di sekolah sangat penting, baik untuk kontak dengan anak-anak lain maupun dengan guru. “Saya percaya bahwa sekolah akan menyelamatkan nyawa anak saya,” kata Urban.

Perwakilan UNICEF di Ukraina Murat Sahin setuju dengan pemikiran Urban. "Dua tahun Covid dan ... enam bulan perang, itu berdampak buruk pada pertumbuhan dan pembelajaran anak-anak dan kesehatan mental. Jadi kita perlu membawa kenormalan itu," ujarnya.

Meski sekolah tatap muka mulai berlangsung, keselamatan anak-anak tetap menjadi prioritas. Di sekolah yang tidak memiliki akses cepat ke tempat penampungan atau terletak dekat perbatasan dengan Belarusia dan Rusia atau dekat zona militer aktif, anak-anak hanya akan belajar secara daring saja.

Kondisi ini yang terjadi pada siswa kelas tujuh di Mykhailo-Kotsyubynske, 35 kilometer dari perbatasan Belarusia. Anak-anak berkumpul di sekolah  yang rusak parah pekan ini hanya untuk mengambil buku pelajaran bagi kebutuhan belajar daring.

Oleksii Lytvyn yang berusia 13 tahun mengingat dengan baik hari ketika rudal Rusia menghantam sekolah itu dua kali. Saat itu tanggal 4 Maret, dia berada di tempat perlindungan bom sekolah bersama keluarganya dan lusinan orang lainnya.

Hanya beberapa menit sebelum ledakan, Oleksii sedang bermain dengan temannya. Setelah ledakan keras, dinding mulai bergetar dan dia tidak bisa melihat apa pun kecuali kepulan yang sangat besar. Satu orang meninggal, seorang perempuan yang bekerja di sekolah tersebut.

"Kami sedang tidur di koridor, dan ada sesosok mayat di balik tembok,"  kenang Oleksii.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement