REPUBLIKA.CO.ID,ROMA -- Organisasi Pangan dan Pertanian PBB (FAO) dan Program Pangan Dunia (WFP) mengatakan, sebanyak 6,2 juta warga Sri Lanka mengalami kerawanan pangan. Jumlah tersebut sekitar 28 persen dari total populasi negara tersebut.
"Lebih dari 6,2 juta orang (di Sri Lanka) diperkirakan mengalami kerawanan pangan akut sedang dan 66 ribu orang mengalami kerawanan pangan akut parah," kata FAO dan WFP dalam laporan bersama, Senin (12/9/2022), dikutip laman Sputnik.
Menurut WFP dan FAO, situasi keamanan dapat terus memburuk. Hal itu bisa dipicu minimnya barang-barang impor, penurunan produksi pertanian, kenaikan harga, dan gangguan mata pencaharian.
Saat ini Sri Lanka sedang dibekap krisis ekonomi terburuk dalam 70 tahun terakhir. Negara tersebut telah menghadapi gelombang demonstrasi sejak Maret lalu. Mereka menuntut perbaikan hidup dan reformasi pemerintahan. Pada Juni lalu, inflasi di Sri Lanka mencapai 54,6 persen. Pada 13 Juli lalu, Gotabaya Rajapaksa akhirnya mundur dari jabatannya sebagai Sri Lanka.
Pada Agustus lalu, angka inflasi di Sri Lanka telah menembus 64,3 persen. Negara tersebut sudah kesulitan mengimpor barang-barang, termasuk bahan bakar minyak (BBM) karena utang pembelian minyaknya telah menggunung.
Sri Lanka sudah mencapai kesepakatan awal dengan Dana Moneter Internasional (IMF) untuk paket bantuan senilai 2,9 miliar dolar AS selama empat tahun. Namun, program tersebut bergantung pada jaminan restrukturisasi utang dari kreditur setelah negara tersebut mengumumkan bahwa mereka menangguhkan pembayaran utang luar negerinya. Saat ini, negara tersebut memiliki utang luar negeri sebesar 51 miliar dolar AS. Sebanyak 28 miliar dolar AS di antaranya harus dibayar pada 2027.