Jumat 23 Sep 2022 11:03 WIB

Presiden Iran Tegaskan akan Selidiki Kematian Mahsa Amini

Kematian Mahsa Amini telah memicu gelombang demonstrasi di Iran.

Rep: Kamran Dikarma/ Red: Indira Rezkisari
 Surat kabar harian Iran melaporkan kematian Mahsa Amini, di Teheran, Iran, 18 September 2022. Mahsa Amini, seorang gadis berusia 22 tahun, ditahan pada 13 September oleh unit polisi yang bertanggung jawab untuk menegakkan aturan berpakaian ketat Iran untuk wanita. Amini dinyatakan meninggal pada 16 September, setelah mengalami koma selama 3 hari. Protes pecah di Saqez, kampung halaman Amini selama pemakamannya pada 17 September.
Foto: EPA-EFE/ABEDIN TAHERKENAREH
Surat kabar harian Iran melaporkan kematian Mahsa Amini, di Teheran, Iran, 18 September 2022. Mahsa Amini, seorang gadis berusia 22 tahun, ditahan pada 13 September oleh unit polisi yang bertanggung jawab untuk menegakkan aturan berpakaian ketat Iran untuk wanita. Amini dinyatakan meninggal pada 16 September, setelah mengalami koma selama 3 hari. Protes pecah di Saqez, kampung halaman Amini selama pemakamannya pada 17 September.

REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON – Presiden Iran Ebrahim Raisi menegaskan, pemerintahannya akan menyelidiki kematian Mahsa Amini (22 tahun). Amini diduga tewas akibat dianiaya “polisi moral” Iran setelah dia ditangkap karena tak mengenakan hijab yang dianggap ideal.

Dalam sebuah konferensi pers di markas PBB di New York, Raisi kembali menyampaikan kesimpulan koroner bahwa Mahsa Amini tidak dianiaya atau dipukuli. “Tapi saya tidak ingin terburu-buru mengambil kesimpulan,” ucapnya, dikutip laman Al Arabiya, Jumat (23/9/2022).

Baca Juga

Dia menekankan, jika memang ada pihak yang salah dalam kematian Amini, hal itu tentu harus diusut. “Saya menghubungi keluarga almarhumah pada kesempatan pertama dan saya meyakinkan mereka secara pribadi bahwa kami akan terus menyelidiki insiden tersebut,” ujar Raisi.

Pada kesempatan itu, Raisi turut melayangkan kritik kepada Amerika Serikat (AS) yang sudah menjatuhkan sanksi ke unit polisi Iran menyusul kematian Amini. Dia menuduh Barat menerapkan standar ganda. “Mengapa tidak menyerukan hal yang sama persis bagi mereka yang kehilangan nyawa di tangan penegak hukum dan agen lain di seluruh Barat; Eropa, Amerika Utara, AS? Mereka yang menderita pemukulan yang tidak adil, mengapa tidak ada penyelidikan yang menindaklanjuti mereka?” ucapnya.

Kematian Amini telah memicu gelombang demonstrasi di Iran. Perempuan-perempuan turun ke jalan dan menunjukkan solidaritasnya kepada Amini dengan cara membakar hijab mereka beramai-ramai. Kerusuhan pun tak terhindarkan. Sejauh ini, setidaknya 17 orang sudah dilaporkan tewas akibat tindakan represif aparat keamanan Iran.

Pada 13 September lalu, “polisi moral” Iran menangkap Mahsa Amini di Teheran. Dia ditangkap karena hijab yang dipakainya dianggap tidak ideal. Di Iran memang terdapat peraturan berpakaian ketat untuk wanita, salah satunya harus mengenakan hijab saat berada di ruang publik.

Setelah ditangkap polisi moral, Amini ditahan. Ketika berada dalam tahanan, dia diduga mengalami penyiksaan. PBB mengaku menerima laporan bahwa wanita berusia 22 tahun itu dipukuli di bagian kepala menggunakan pentungan. Selain itu, kepala Amini pun disebut dibenturkan ke kendaraan.

Amini kemudian dilarikan ke rumah sakit. Kepolisian Teheran mengklaim, saat berada di tahanan, Amini tiba-tiba mengalami masalah jantung. Amini dirawat dalam keadaan koma dan akhirnya mengembuskan napas terakhirnya pada 16 September lalu. Kematian Amini dan dugaan penyiksaan yang dialaminya seketika memicu kemarahan publik. Mereka menggelar demonstrasi untuk memprotes tindakan aparat terhadap Amini.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement