REPUBLIKA.CO.ID, NEW YORK – Menteri Luar Negeri Retno Marsudi mendorong masyarakat internasional untuk terus memberi perhatian pada isu krisis Rohingya. Terkait hal ini, dia menyinggung tentang peran penting ASEAN.
“Tugas kita bersama adalah untuk memastikan bahwa dunia internasional tetap memberikan perhatian bagi Rohingya,” kata Retno saat berbicara di High-Level Slide Event on “Rohingya Crisis” di New York, Amerika Serikat (AS), Kamis (22/9/2022), dilaporkan laman resmi Kementerian Luar Negeri.
Menurut Retno, ada tiga hal utama yang perlu dilakukan masyarakat internasional. Pertama, menciptakan situasi yang kondusif bagi kepulangan masyarakat Rohingya. Kedua, memastikan perlindungan keamanan dan keselamatan masyarakat Rohingya di Cox’s Bazar, Bangladesh. Ketiga, mendorong perdamaian dan rekonsiliasi nasional di Myanmar.
Retno menilai, ASEAN tentunya dapat memainkan peran penting untuk mengembalikan perdamaian dan stabilitas di Myanmar. “Indonesia dalam hal ini berkomitmen untuk bekerja sama dengan komunitas internasional dalam mencari solusi yang berkelanjutan untuk penanganan isu Rohingya,” ucapnya.
Bulan lalu Organisasi Internasional untuk Migrasi (IOM) menyerukan masyarakat internasional mengambil tindakan segera guna memastikan pembangunan jangka panjang dan bantuan kemanusiaan berkelanjutan bagi pengungsi Rohingya. Hal itu disampaikan dalam momen peringatan lima tahun kaburnya ratusan ribu masyarakat Rohingya dari Myanmar ke Bangladesh.
“Hampir 1 juta pengungsi tetap berada di kamp-kamp yang padat. Lebih dari setengahnya adalah anak-anak. Meskipun Bangladesh telah dengan murah hati menampung pengungsi Rohingya selama lima tahun terakhir, satu negara tidak dapat dan tidak boleh memikul tanggung jawab ini sendirian,” kata IOM di situs resminya, 24 Agustus lalu.
IOM mengungkapkan, aktor kemanusiaan internasional dan lokal harus terus mendukung respons yang dipimpin pemerintah Bangladesh. Hal itu guna memungkinkan pengungsi Rohingya menjalani kehidupan bermartabat saat berada di pengungsian
IOM mengatakan, karena akses mencari nafkah terbatas, para pengungsi Rohingya di Bangladesh bergantung sepenuhnya pada bantuan kemanusiaan. “Kelompok atau orang dengan kebutuhan khusus, seperti penyandang disabilitas, kepala rumah tangga perempuan, atau orang yang tidak memiliki akses ke peluang mata pencaharian, melaporkan kebutuhan paling signifikan yang tidak terpenuhi, membuat mereka rentan terhadap strategi penanggulangan negatif, seperti penyelundupan manusia dan perdagangan manusia,” ungkap IOM.
Menurut IOM, sejauh ini mereka telah mengidentifikasi dan membantu lebih dari 1.300 pengungsi Rohingya yang korban perdagangan manusia. Pada Agustus 2017, lebih dari 700 ribu Rohingya melarikan diri dari Negara Bagian Rakhine, Myanmar, dan mengungsi ke Bangladesh. Hal itu terjadi setelah militer Myanmar melakukan operasi brutal untuk menangkap gerilyawan Arakan Rohingya Salvation Army (ARSA). Warga sipil ikut menjadi korban dalam operasi tersebut. Selain membakar permukiman, militer Myanmar dilaporkan turut memperkosa perempuan-perempuan Rohingya dan membantai para lelaki dari etnis tersebut.
Masifnya arus pengungsi ke wilayah perbatasan Bangladesh segera memicu krisis kemanusiaan. Para pengungsi Rohingya terpaksa harus tinggal di tenda atau kamp dan menggantungkan hidup pada bantuan internasional.