REPUBLIKA.CO.ID, NEW YORK -- Iran mengatakan tidak ada artinya mengaktifkan kembali perjanjian nuklir 2015 atau Joint Comprehensive Plan of Action (JCPOA) tanpa jaminan Amerika Serikat (AS) tidak akan keluar lagi dari kesepakatan tersebut serta bila inspektorat nuklir PBB menghentikan penyelidikannya pada program atom Iran.
Pernyataan Presiden Iran Ebrahim Raisi memberi sinyal gagalnya upaya mengatasi perbedaan perundingan untuk mengaktifkan kembali JCPOA di Majelis Umum PBB. "Apa gunanya mengaktifkan kembali kesepakatan tanpa ada jaminan AS tidak akan melanggarnya lagi," kata Raisi, Jumat (23/9/2022).
Usai bertemu dengan Raisi, Kamis (22/9/2022) kemarin Presiden Prancis Emmanuel Macron mengatakan "bola untuk mencapai kesepakatan nuklir dengan Iran sekarang ada di Teheran."
Namun dalam konferensi pers yang disiarkan televisi, Raisi menyalahkan pihak Eropa dan Amerika Serikat (AS) atas gagalnya kesepakatan tersebut.
"Bagaimana kami bisa memiliki kesepakatan abadi bila penyelidikan tidak ditutup? Kami dapat memiliki kesepakatan yang bagus bila Amerika dan Eropa memenuhi komitmen mereka," katanya.
Selain menginginkan jaminan, Iran juga ingin lembaga pemantau nuklir PBB, Badan Energi Atom Internasional (IAEA) menutup penyelidikan mengenai jejak uranium yang ditemukan di tiga lokasi yang tidak diungkapkan Iran.
Seorang pejabat Departemen Luar Negeri AS menolak tekanan pada IAEA untuk menutup penyelidikan tersebut kecuali Iran memberikan penjelasan yang memuaskan.
"Singkatnya, kami menabrak tembok karena posisi iran dan saya kira posisi mereka sangat tidak beralasan dalam hal apa yang mereka minta terhadap penyelidikan IAEA pada jejak partikel uranium yang tak terjelaskan," katanya.
"Mereka meminta kami dan negara-negara Eropa untuk menekan IAEA dan direktorat jenderal untuk menutup penyelidikan-penyelidikan ini, sesuatu yang tidak akan kami lakukan, kami menghormati independensi IAEA dan integritas IAEA," tambah pejabat tersebut.