Seorang penduduk Kota Mariupol, Larysa Vinohradova, meninggalkan kotanya setelah invasi Rusia. Vinohradova mengatakan, banyak temannya tetap tinggal di Mariupol karena mereka harus merawat orang tua yang sudah lanjut usia, yang sebagian besar menolak untuk melarikan diri.
“Mereka tidak mendukung Rusia, mereka ingin Mariupol menjadi bagian dari Ukraina, dan mereka menunggunya,” kata Vinohradova, sambil menangis.
Gubernur Luhansk Serhiy Haidai meninggalkan wilayah itu setelah disapu oleh pasukan Rusia. Dia mengatakan, penduduk takut bahwa Rusia akan mengumpulkan lebih banyak orang di wilayah itu untuk dinas militer mengikuti perintah mobilisasi Putin.
“Rusia menggunakan pseudo-referendum ini sebagai dalih bagi orang-orang bersenjata untuk mengunjungi apartemen dan mencari orang yang tersisa untuk memobilisasi mereka dan juga mencari sesuatu yang mencurigakan dan pro-Ukraina,” kata Haidai kepada The Associated Press.
"Serangan balik Ukraina yang cepat telah membuat takut Rusia," tambah Haidai.
Para analis mengatakan, Putin berharap ancaman eskalasi militer dapat digunakan untuk memaksa Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskyy bernegosiasi dengan Kremlin. Kepala lembaga think tank Penta Center yang berbasis di Kiev, Volodymyr Fesenko, menilai, referendum yang tergesa-gesa justru menunjukkan kelemahan Kremlin.
“Tergesa-gesanya referendum itu menunjukkan kelemahan Kremlin, bukan kekuatannya. Kremlin sedang berjuang untuk menemukan pengungkit untuk mempengaruhi situasi yang telah lepas dari kendalinya," Fesenko.
Pejabat Ukraina mengatakan tanda-tanda tidak sahnya referendum mulai terlihat. Walikota Melitopol, Ivan Fedorov, mengatakan, Rusia melihat ada ketakutan dan keengganan warga untuk memilih.
“Kelompok kolaborator dan orang Rusia yang ditemani oleh pasukan bersenjata pergi dari satu apartemen ke apartemen lain, tetapi hanya sedikit orang yang membuka pintu. Tergesa-gesanya mereka mengorganisir pseudo-referendum itu menunjukkan bahwa mereka bahkan tidak akan menghitung surat suara dengan sungguh-sungguh," kata Fedorov.