REPUBLIKA.CO.ID, YERUSALEM – Tentara Israel telah memberikan lampu hijau penggunaan drone bersenjata untuk menyerang dan membunuh warga Palestina di wilayah pendudukan Tepi Barat.
Persetujuan ini diberikan Kepala Staf Umum Pasukan Pertahanan Israel, Aviv Kochavi.
The Jerusalem Post melaporkan, Kochavi mengizinkan penggunaan drone bersenjata untuk menyerang jika terjadi ancaman pada pasukan Israel. Terutama jika ada ancaman dari kelompok bersenjata Palestina.
"Perintah itu datang ketika pasukan keamanan Israel mengalami peningkatan yang signifikan dalam serangan penembakan besar-besaran selama serangan penangkapan, khususnya di Kota Jenin dan Nablus di Tepi Barat utara," ujar laporan Jerusalem Post.
Penyiar publik Israel, KAN, menyebut instruksi baru itu sebagai eskalasi yang belum pernah terjadi sebelumnya dalam aktivitas tentara Israel.
Pada Rabu (28/9/2022) Kochavi mengatakan, tentara Israel telah mengevaluasi situasi di Tepi Barat. Dia menambahkan, militer akan terus mempersiapkan setiap skenario untuk memastikan keamanan Israel.
Pada Rabu, empat warga Palestina tewas dan puluhan terluka oleh tembakan tentara Israel selama protes di Kota Jenin. Hampir setiap hari pasukan militer Israel melakukan serangan malam di wilayah pendudukan Tepi Barat.
Israel mengklaim bahwa operasi itu sangat penting untuk tujuan intelijen. Tetapi sejumlah kelompok hak asasi manusia mengecam praktik tersebut.
Kelompok hak asasi manusia bersikeras, tujuan operasi malam Israel adalah untuk menindas dan mengintimidasi penduduk Palestina, serta meningkatkan kontrol negara.
Para kritikus bersikeras, penggerebekan adalah bagian dari praktik negara apartheid. Kepala Staf Angkatan Darat Israel, Aviv Kochavi memperingatkan bahwa aktivitas militer akan diintensifkan jika dianggap perlu.
"Tujuan kami adalah melindungi warga Israel, dan misi kami adalah untuk menggagalkan terorisme. Kami akan menjangkau setiap kota, lingkungan, gang, rumah atau ruang bawah tanah untuk tujuan itu," kata Kochavi.
Dilansir Middle East Monitor, Jumat (30/9/2022), drone bersenjata banyak digunakan selama serangan terbaru Israel terhadap warga Palestina di Jalur Gaza.
Salah satunya dalam serangan militer yang berlangsung pada 5-8 Agustus. Serangan ini menewaskan 49 warga Palestina, termasuk 17 anak-anak dan empat wanita. Sementara 360 lainnya terluka.
Perdana Menteri Israel Yair Lapid pada Rabu (7/9/2022) menolak seruan Amerika Serikat (AS) untuk meninjau kembali aturan operasi militer Israel di wilayah pendudukan Tepi Barat.
Seruan ini menyusul penembakan yang menewaskan jurnalis veteran Palestina Shireen Abu Akleh oleh militer Israel di Kota Jenin, Tepi Barat pada Mei lalu.
“Tidak ada yang akan mendikte kebijakan tembakan terbuka kami, ketika kami berjuang untuk hidup. Tentara kami mendapat dukungan penuh dari pemerintah Israel dan rakyat Israel,” kata Lapid.
Baca juga: Doa Mualaf Jodik Liwoso Mantan Misionaris: Jika Islam Benar Dekatkanlah
Departemen Luar Negeri Amerika Serikat (AS) mengatakan, mereka akan menekan Israel untuk meninjau kebijakannya setelah kematian Abu Akleh.
Amerika Serikat dan Israel secara terpisah menyimpulkan bahwa, Abu Akleh kemungkinan ditembak oleh tentara Israel secara tidak sengaja selama baku tembak dengan warga Palestina. Kendati demikian, rekaman video menunjukkan tidak ada militan atau bentrokan di sekitarnya pada saat itu.
"Kami akan terus menekan Israel untuk meninjau dengan cermat kebijakan dan praktiknya tentang aturan operasi (militer), mempertimbangkan langkah-langkah tambahan untuk mengurangi risiko kerugian sipil, melindungi jurnalis, dan mencegah tragedi serupa di masa depan,” kata Wakil juru bicara Departemen Luar Negeri Amerika Serikat, Vedant Patel.
Israel telah melakukan serangan malam di wilayah pendudukan Tepi Barat, menyusul serangkaian serangan mematikan oleh warga Palestina musim semi lalu yang menewaskan 19 orang.
Menurut data Kementerian Kesehatan Palestina, setidaknya 90 warga Palestina telah tewas oleh tembakan Israel tahun ini, dan menjadi tahun paling mematikan di wilayah pendudukan Tepi Barat sejak 2016.
Israel mengatakan, militernya memerangi kelompok bersenjata yang menargetkan warga sipil dan harus membuat keputusan sepersekian detik di medan perang. Aturan keterlibatan militer memungkinkan tentara di lapangan untuk melepaskan tembakan, ketika mereka merasa dalam bahaya.
Kelompok hak asasi Israel mengatakan, tentara menafsirkan aturan itu secara luas. Mereka sering menggunakan kekuatan berlebihan dan jarang dimintai pertanggungjawaban ketika mereka menembak warga sipil.
Sementara Palestina mengatakan, serangan itu bertujuan untuk mempertahankan kekuasaan militer Israel selama 55 tahun atas wilayah yang mereka inginkan untuk negara masa depan.