REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Amnesty International meminta Facebook membayar perbaikan atas ratusan ribu warga Rohingya yang dipaksa keluar dari Myanmar. Etnis Rohingya, yang sebagian besar adalah minoritas Muslim, menjadi sasaran para penguasa militer Myanmar pada tahun 2017 dan pergi ke negara tetangganya, Bangladesh, tempat mereka tinggal sejak di kamp-kamp pengungsi yang luas.
Asosiasi dan pendukung hak korban mengatakan bahwa aksi kekerasan itu telah dikobarkan oleh algoritma Facebook dan mereka memainkan konten ekstremis yang mendorong informasi yang salah dan ucapan kebencian yang berbahaya. "Banyak Rohingya mencoba untuk melaporkan konten anti-Rohingya melalui fungsi 'laporan' Facebook tetapi tidak berhasil. Facebook membiarkan narasi kebencian ini berkembang biak dan mencapai audiens yang belum pernah terjadi sebelumnya di Myanmar," tulis Amnesty dalam laporannya seperti dikutip TRT World, Jumat (30/9/2022).
Pernyataan tersebut mengungkapkan berbagai informasi dari "surat kabar facebook" yang dipublikasikan pada Oktober 2021, yang mengindikasikan bahwa eksekutif perusahaan mengetahui situs tersebut memicu penyebaran racun terhadap etnis minoritas dan kelompok-kelompok lainnya. Tiga gugatan hukum telah diajukan terhadap Facebook oleh perwakilan Rohingya, di AS dan Inggris serta dengan grup OECD di negara-negara maju, di bawah pedoman mereka untuk melakukan bisnis yang bertanggung jawab.
Dalam keluhan AS yang diajukan bulan Desember tahun lalu di California, negara asal Facebook dan perusahaan induksi, pengungsi mencari ganti rugi 150 miliar dolar. "Penolakan Meta untuk mengompensasi korban Rohingya hingga saat ini, bahkan di mana permintaan masyarakat yang sederhana mewakili remah-remah dari meja laba perusahaan yang sangat besar, cukup menambah persepsi bahwa ini adalah sebuah perusahaan yang sepenuhnya terlepas dari kenyataan dampak hak asasi manusia," kata Amnesty.
LSM mendesak Facebook untuk proaktif melindungi hak asasi manusia berdasarkan hak asasi di berbagai platform, tapi juga meminta otoritas nasional untuk meningkatkan kepengawasan mereka. "Sangat penting yang menyatakan kewajiban mereka untuk melindungi hak asasi manusia dengan memperkenalkan dan menegakkan undang-undang yang efektif untuk mengendalikan model bisnis berbasis pengawasan di sektor teknologi," jelas Amnesty.
Facebook telah bersumpah untuk mengubah nilai-nilai dan operasi perusahaannya dalam menanggapi tekanan untuk mengatup informasi palsu, terutama mengenai politik dan pemilihan. Perusahaan ini telah menjalin kemitraan dengan beberapa perusahaan media, termasuk kantor berita AFP, yang bertujuan untuk memverifikasi pos-pos daring dan menghapus pos-pos yang tidak benar.