REPUBLIKA.CO.ID, NEW YORK -- Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Antonio Guterres memperingatkan dunia berada dalam perjuangan hidup atau mati untuk bertahan hidup. Kekacauan iklim berderap di depan dan menuduh 20 negara terkaya di dunia gagal berbuat cukup untuk menghentikan planet ini dari kepanasan.
"Kita berada dalam perjuangan hidup atau mati untuk keselamatan kita sendiri hari ini dan kelangsungan hidup kita besok,” kata Guterres.
Guterres mengatakan, emisi gas rumah kaca pemanasan global selalu tinggi dan meningkat. Dia menekankan saatnya untuk kompromi tingkat kuantum antara negara-negara maju serta kaya yang mengeluarkan sebagian besar gas, sedangkan negara-negara berkembang yang sering merasa efek terburuknya.
Dalam beberapa minggu terakhir, Guterres telah meningkatkan dorongan isu iklim dengan meminta para pencemar membayar untuk yang telah dilakukan. Dia mengatakan, bahwa orang-orang membutuhkan tindakan sekarang.
“Kegagalan untuk bertindak atas kerugian dan kerusakan akan menyebabkan lebih banyak hilangnya kepercayaan dan lebih banyak kerusakan iklim. Ini adalah keharusan moral yang tidak bisa diabaikan," ujar sekjen PBB itu.
Sekjen PBB ini berbicara ketika perwakilan pemerintah membuka pertemuan di ibu kota Kongo, Kinshasa, untuk mempersiapkan konferensi iklim utama yang dipimpin PBB di resor Mesir Sharm el-Sheikh pada November. Dampak iklim saat ini sangat terlihat jelas di seluruh dunia, mulai dari banjir yang membuat sepertiga wilayah Pakistan terendam air dan musim panas terpanas di Eropa dalam 500 tahun, hingga badai dan topan yang melanda Filipina, Kuba, dan negara bagian Florida di Amerika Serikat (AS).
Menurut Guterres, pertemuan COP27 di Mesir harus menjadi tempat untuk bertindak atas kerugian dan kerusakan. Dalam bahasa yang sangat kritis, dia mengatakan, komitmen oleh kelompok G20 dari 20 ekonomi terkemuka dunia datang terlalu sedikit dan terlalu terlambat.
Guterres memperingatkan bahwa janji dan kebijakan saat ini menutup pintu peluang untuk membatasi kenaikan suhu global hingga 2 derajat Celcius, apalagi memenuhi tujuan 1,5 derajat. "COP27 adalah tempat bagi semua negara, yang dipimpin oleh G20, untuk menunjukkan bahwa mereka berada dalam pertarungan ini, dan di dalamnya bersama-sama,” kata Guterres.
“Dan cara terbaik untuk menunjukkannya adalah dengan hadir di COP27 di Sharm el-Sheikh," ujarnya.
Negara-negara kaya, terutama AS, telah mengeluarkan jauh lebih banyak karbon dioksida yang memerangkap panas dari pembakaran batu bara, minyak, dan gas alam. Namun, negara-negara miskin seperti Pakistan dan Kuba telah dirugikan jauh lebih banyak daripada bagian mereka dalam emisi karbon global.
Kerugian dan kerusakan telah dibicarakan selama bertahun-tahun, tetapi negara-negara kaya sering menolak keras untuk menegosiasikan rincian tentang membayar bencana iklim di masa lalu, seperti banjir Pakistan musim panas ini. Masalah ini mendasar bagi negara-negara berkembang di dunia dan Guterres mengingatkan negara-negara kaya.
"Mereka tidak dapat mencoba dan menutupinya dengan menyembunyikan... negara-negara G20 harus bertanggung jawab atas kebutuhan besar yang disebabkan oleh tindakan mereka," kata Mohamed Adow dari Power Shift Africa yang mencoba memobilisasi aksi iklim di Afrika.
Profesor ilmu iklim dan hubungan internasional Princeton University Michael Oppenheimer mengatakan, jika negara berpenghasilan tinggi dan penghasil emisi besar lainnya seperti China ingin agar konvensi PBB tentang perubahan iklim tetap bermanfaat, mereka perlu bergulat serius dengan kerugian dan kerusakan. Jika tidak, negosiasi menuju kemacetan yang tak berkesudahan.