REPUBLIKA.CO.ID, DAMASKUS -- Kementerian Kesehatan Suriah mencatat 39 kematian akibat kolera. Sebanyak 594 kasus telah dicatat di 11 dari 14 provinsi sejak akhir bulan lalu.
“Situasinya berkembang secara mengkhawatirkan di provinsi yang terkena dampak dan meluas ke daerah baru,” ujar pernyataan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), dilansir Alarabiya, Rabu (5/10/2022).
Sebagian besar kematian akibat kolera tercatat di provinsi utara Aleppo. Ini adalah wabah kolera besar pertama di Suriah dalam lebih dari satu dekade.
Penyakit yang sangat mematikan ini umumnya ditularkan dari makanan atau air yang terkontaminasi, serta menyebabkan diare dan muntah. Kolera dapat menyebar di daerah pemukiman yang tidak memiliki jaringan pembuangan air limbah atau air minum utama.
Penyakit ini muncul kembali secara besar-besaran sejak 2009 di Suriah. Hampir dua pertiga dari instalasi pengolahan air, setengah dari stasiun pompa dan sepertiga menara air di Suriah telah rusak akibat perang.
Sumber wabah kolera terbaru diyakini berasal dari Sungai Efrat yang telah terkontaminasi oleh limbah. Wabah kolera berkembang karena berkurangnya aliran air akibat kekeringan, kenaikan suhu dan bendungan yang dibangun oleh Turki sehingga memperparah masalah limbah
"Terlepas dari kontaminasi, lebih dari lima juta dari sekitar 18 juta orang Suriah bergantung pada Efrat untuk air minum mereka," kata pernyataan PBB.
Wabah kolera sangat mengkhawatirkan bagi kamp pengungsian yang penuh sesak. Para pengungsi memiliki sedikit akses ke air bersih dan produk sanitasi.
Menurut WHO, kolera dapat membunuh dalam beberapa jam jika tidak diobati. Tapi sebagian besar orang yang terinfeksi tidak akan memiliki gejala atau gejala ringan.
Kolera dapat dengan mudah diobati dengan larutan rehidrasi oral. Tetapi kasus yang lebih parah mungkin memerlukan cairan intravena dan antibiotik. Di seluruh dunia, penyakit ini mempengaruhi antara 1,3 juta dan empat juta orang setiap tahun. Kolera telah menyebabkan kematian antara 21.000 dan 143.000 orang.