REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Gedung Putih pada Rabu (12/10/2022) menyusun strategi keamanan nasional yang bertujuan untuk menghadapi pengaruh China dan sikap tegas terhadap Rusia. Strategi keamanan nasional pertama pemerintahan Presiden Joe Biden menekankan perlunya kebijakan luar negeri yang menyeimbangkan kepentingan sekutu global dengan kepentingan kelas menengah Amerika.
“Kami memahami bahwa jika Amerika Serikat ingin berhasil di luar negeri, kami harus berinvestasi dalam inovasi dan kekuatan industri kami, dan membangun ketahanan kami, di dalam negeri. Demikian pula, untuk memajukan kemakmuran bersama di dalam negeri dan menegakkan hak-hak semua orang Amerika, kita harus secara proaktif membentuk tatanan internasional sesuai dengan kepentingan dan nilai-nilai kita," ujar isi dokumen strategi keamanan nasional.
Ketika awal menjabat sebagi presiden, Biden memperjuangkan “kebijakan luar negeri untuk kelas menengah” dan berusaha lebih fokus pada China sebagai pesaing ekonomi dan militer. Termasuk menghidupkan kembali aliansi yang telah redup selama pemerintahan mantan Presiden Donald Trump dan melindungi hak asasi manusia.
"Di seluruh dunia, kebutuhan akan kepemimpinan Amerika sama besarnya seperti sebelumnya. Kami berada di tengah-tengah persaingan strategis untuk membentuk masa depan tatanan internasional," kata Biden dalam pengantar dokumen.
Pejabat pemerintah mengatakan, fokus pada kepentingan AS tetap menjadi pusat visi kebijakan luar negeri Biden. Namun dokumen strategi baru juga mencerminkan daftar panjang krisis yang membuat dunia menghadapi tantangan bersama termasuk perubahan iklim, kerawanan pangan, penyakit menular, dan inflasi.
“Kami berada di tahun-tahun awal dekade yang menentukan,” kata penasihat keamanan nasional Gedung Putih Jake Sullivan dalam pidatonya di Universitas Georgetown ketika menyoroti rilis dokumen tersebut.
"Syarat persaingan kita dengan Republik Rakyat China akan ditetapkan. Jendela peluang untuk menghadapi tantangan bersama seperti perubahan iklim akan menyempit secara drastis, bahkan ketika intensitas tantangan itu meningkat. Jadi kita perlu menangkap momen kita," kata Sullivan.
Dokumen tersebut menekankan perlunya bersaing secara efektif dengan China, serta kemampuan untuk membentuk kembali tatanan internasional. Biden menghadapi gejolak politik global yang cukup kompleks. Antara lain, perang Rusia-Ukraina yang telah berlangsung selama hampir delapan bulan dan menghancurkan ekonomi global, tindakan China terhadap Taiwan yang semakin intensif, meningkatnya kekhawatiran nuklir di Iran dan Korea Utara, serta ketegangan hubungan dengan Arab Saudi terkait keputusan OPEC+.
Sullivan mengatakan, krisis Ukraina telah membuat rilis dokumen strategi keamanan nasional menjadi tertunda. Namun hal ini secara fundamental tidak mengubah pendekatan Biden terhadap strategi. Pemerintah awalnya berencana untuk merilis strategi tersebut pada bulan Februari.
"Saya percaya bahwa itu menghadirkan elemen kunci dari pendekatan kami dalam warna yang hidup yaitu penekanan pada sekutu, pentingnya memperkuat tangan dunia demokratis dan membela sesama demokrasi kita dan untuk nilai-nilai demokrasi," kata Sullivan.
Mengenai masalah minyak, Biden mengatakan, pemerintah akan "bereaksi terhadap Arab Saudi" sebagai tanggapan atas keputusan OPEC+ untuk memangkas produksi minyak. Biden mengatakan, Saudi akan menghadapi "konsekuensi" untuk langkah tersebut.
Anggota parlemen Demokrat mendorong undang-undang yang akan menghentikan penjualan militer AS ke Saudi sehubungan dengan pengurangan produksi minyak. Menurut pejabat Gedung Putih, pengurangan produksi minyak akan membantu anggota OPEC+ lainnya, yaitu Rusia untuk membiayai perangnya di Ukraina.
Dalam sebuah pernyataan Rabu (12/10/2022) malam, Kementerian Luar Negeri Saudi bersikeras, keputusan OPEC+ adalah murni untuk tujuan ekonomi. Saudi mengatakan, setiap upaya untuk mendistorsi fakta tentang posisi Kerajaan mengenai krisis di Ukraina sangat disayangkan.
"Kerajaan menegaskan bahwa mereka memandang hubungannya dengan Amerika Serikat sebagai hubungan strategis yang melayani kepentingan bersama kedua negara," ujar Kementerian Luar Negeri Saudi.
Biden mulai meninjau tindakan potensial dan akan mempertimbangkan seruan untuk menghentikan penjualan senjata ke Riyadh. Namun Sullivan mengatakan keputusan tentang penjualan senjata tidak akan segera terjadi.