REPUBLIKA.CO.ID, Ketika badai yang tak terhindarkan mengancam New Orleans, sulit bagi India Scott untuk mencari tahu ke mana dia harus pergi. Selama Badai Katrina, Scott tinggal di tempat penampungan Superdome yang penuh sesak.
Menurut sebagian besar orang, tempat penampungan memberikan perlindungan paling aman. Namun bagi Scott tempat penampungan membuatnya merasa tidak aman, karena sulit diakses oleh penyandang disabilitas.
Scott terlahir cacat dan telah menggunakan kursi roda sepanjang hidupnya. Bahkan ketika cuaca tenang di New Orleans dia enggan meninggalkan rumah untuk mengunjungi teman, pergi berbelanja, maupun makan di restoran. Scott menilai tempat di luar rumahnya tidak dapat menjamin bahwa dapat melakukan hal-hal dasar seperti menggunakan kamar kecil, melewati pintu masuk atau naik ke tempat tidur.
Scott tinggal di lingkungan Aljir di New Orleans. Kediaman Scott punya desain sangat nyaman dan disesuaikan dengan kebutuhannya sebagai penyandang disabilitas. Misalnya, ukuran pintu masuk yang diperlebar untuk kursi rodanya, dan tempat tidur lebih rendah agar memudahkannya beristirahat. Tetapi Scott masih khawatir karena dia tinggal di dekat tanggul, terutama setiap kali ada badai besar atau badai tropis yang dapat menimbulkan banjir besar.
“Saya mencoba yang terbaik untuk membuat rumah saya nyaman. Tetapi jika air itu meluap, saya dalam masalah," ujar Scott.
Ketika badai datang, Scott mengatakan dia tidak bisa mengandalkan pemerintah kota, negara bagian atau federal. Dia mengatakan, tidak ada dukungan yang memadai untuk penyandang disabilitas sebelum bencana hingga setelah bencana dari badan manajemen darurat di semua tingkat pemerintahan.
"Kami sendirian," kata Scott sambil menangis kepada The Associated Press.
Para ahli dan aktivis mengatakan, penyandang disabilitas tidak dilibatkan dalam perencanaan darurat dan bencana. Terutama menghadapi rintangan yang tidak dihadapi oleh orang-orang yang berbadan sehat saat bencana terjadi.
Menurut laporan Program Penelitian Aksi Iklim Inklusif Disabilitas di McGill University dan International Disability Alliance yang dirilis pada Juni, ketika bencana terkait iklim menjadi lebih umum dan lebih parah, sebagian besar negara di dunia mengabaikan kewajiban mereka untuk menghormati, melindungi, dan memenuhi hak-hak penyandang disabilitas dalam tanggapan mereka terhadap krisis iklim.
Para peneliti menemukan, hanya 32 dari 192 negara yang menandatangani Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang Kesepakatan Iklim Paris pada 2015 yang melibatkan penyandang disabilitas dalam rencana iklim resmi mereka. Kemudian sebanyak 45 negara mengacu pada penyandang disabilitas dalam kebijakan adaptasi iklim mereka l, dan tidak ada negara yang menyebutkan penyandang disabilitas dalam rencana mitigasi iklimnya.
Sebagian besar kontributor terbesar dunia untuk perubahan iklim seperti Amerika Serikat, China, Rusia, Brasil, Jerman, Jepang, dan Inggris, tidak memasukkan penyandang disabilitas ke dalam rencana mitigasi iklim. Padahal sebanyak 185 negara meratifikasi Konvensi PBB tentang Hak Penyandang Disabilitas, yang disusun pada 2006. Ratifikasi itu mengatakan, negara-negara akan mengambil langkah untuk memastikan perlindungan dan keselamatan penyandang disabilitas dalam darurat kemanusiaan dan terjadinya bencana alam. AS adalah salah satu dari delapan negara yang menandatangani perjanjian itu tetapi belum meratifikasinya.