Ahad 16 Oct 2022 16:36 WIB

Xi Bertekad untuk Reunifikasi Damai Dengan Taiwan

China tidak akan melepaskan hak untuk mengedepankan resolusi damai terhadap Taiwan

Rep: Rizky Jaramaya/ Red: Esthi Maharani
Presiden China Xi Jinping (lima kiri) dan Perdana Menteri Li Keqiang (empat kiri) mengheningkan cipta bersama jajaran Komite Pusat Partai Komunis China (CPC) dalam mengawali rangkaian pembukaan Kongres Nasional ke-20 CPC di Balai Agung Rakyat, Beijing, China, Ahad (16/10/2022). Kongres yang berlangsung hingga 22 Oktober tersebut mengagendakan amandemen UU CPC, penyampaian laporan kerja Komite Pusat ke-19 CPC, memilih anggota Komite Pusat CPC, dan memilih anggota Komisi Pusat CPC untuk Pengawasan Disiplin (CCDI) periode lima tahun mendatang.
Foto: ANTARA/M. Irfan Ilmie
Presiden China Xi Jinping (lima kiri) dan Perdana Menteri Li Keqiang (empat kiri) mengheningkan cipta bersama jajaran Komite Pusat Partai Komunis China (CPC) dalam mengawali rangkaian pembukaan Kongres Nasional ke-20 CPC di Balai Agung Rakyat, Beijing, China, Ahad (16/10/2022). Kongres yang berlangsung hingga 22 Oktober tersebut mengagendakan amandemen UU CPC, penyampaian laporan kerja Komite Pusat ke-19 CPC, memilih anggota Komite Pusat CPC, dan memilih anggota Komisi Pusat CPC untuk Pengawasan Disiplin (CCDI) periode lima tahun mendatang.

REPUBLIKA.CO.ID, BEIJING -- Presiden Xi Jinping mengatakan, China tidak akan pernah melepaskan hak untuk menggunakan kekuatan dan mengedepankan resolusi damai terhadap Taiwan. Dalam pidato pembukaan kongres Partai Komunis, Xi mengatakan China selalu "dihormati, diperhatikan, dan diuntungkan" rakyat Taiwan. Xi berkomitmen untuk mempromosikan pertukaran ekonomi dan budaya di seluruh Selat Taiwan.

"Menyelesaikan masalah Taiwan adalah urusan rakyat China sendiri, dan terserah kepada rakyat China untuk memutuskan. Kami berjuang untuk prospek reunifikasi damai dengan ketulusan terbesar dan upaya terbaik, tetapi kami tidak akan pernah berjanji untuk menghentikan penggunaan kekuatan dan mencadangkan opsi untuk mengambil semua tindakan yang diperlukan," ujar Xi.

Xi mengatakan, opsi itu ditujukan untuk "campur tangan" oleh kekuatan eksternal dan "sejumlah kecil" pendukung kemerdekaan Taiwan. "Roda sejarah reunifikasi nasional dan peremajaan nasional sedang bergulir ke depan, dan reunifikasi penuh ibu pertiwi harus dicapai, dan itu harus dicapai," ujarnya yang disambut tepuk tangan meriah.  

Sebagai tanggapan atas pernyataan Xi, Kantor Kepresidenan Taiwan mengatakan, Taiwan adalah negara yang berdaulat dan merdeka. "Posisi Taiwan tegas, tidak ada mundur pada kedaulatan nasional, tidak ada kompromi pada demokrasi dan kebebasan, dan pertemuan di medan perang sama sekali bukan pilihan bagi kedua sisi Selat Taiwan. Ini adalah konsensus rakyat Taiwan," ujarnya.

Kantor kepresidenan menambahkan, tim keamanan nasional terus mengawasi perkembangan di kongres Partai Komunis China. Dalam pada Senin (10/10/2022), Presiden Taiwan Tsai Ing-wen mengatakan, perang antara Taiwan dan China bukanlah suatu pilihan. Dia menegaskan kembali kesediaannya untuk berbicara dengan Beijing.

Berbicara kepada wartawan pada Ahad (16/10/2022), Perdana Menteri Taiwan Su Tseng-chang mengatakan, Xi harus fokus pada rakyatnya sendiri. Hal ini mengacu pada tulisan di spanduk yang dipasang di jalan layang Beijing sebagai bagian dari aksi protes yang langka pada Kamis (13/10/2022). Tulisan di spanduk itu mengkritik pemerintahan Xi dan segera dicopot oleh pihak berwenang.

"Xi Jinping harus memperhatikan spanduk protes di Jembatan Sitong di Beijing, daripada selalu berpikir untuk menggunakan kekuatan untuk berurusan dengan Taiwan," ujar Su.

China menganggap Taiwan sebagai bagian dari wilayah kedaulatannya. Beijing telah menawarkan model otonomi "satu negara, dua sistem" kepada Taiwan. Ini adalah formula yang digunakan China untuk Hong Kong.  Tetapi semua partai politik utama Taiwan telah menolak tawaran China dan hampir tidak ada dukungan publik untuk menerima sistem tersebut.

Taiwan mengatakan hanya rakyatnya yang dapat memutuskan masa depan mereka sendiri. Menurut Taipei, klaim Beijing tidak berlaku karena Republik Rakyat China tidak pernah memerintah mereka.

Ketegangan antara Beijing dan Taipei meningkat secara dramatis pada Agustus setelah China menggelar latihan perang di dekat Taiwan, menyusul kunjungan Ketua House of Reprsentative Amerika Serikat (AS), Nancy Pelosi ke Taiwan.  Kegiatan militer itu terus berlanjut meskipun dengan intensitas yang berkurang.

sumber : Reuters
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement