Rabu 19 Oct 2022 05:55 WIB

Uni Eropa Jaga Harga Energi Di Tengah Inflasi

Pemimpin Uni Eropa memasuki pekan yang cukup penting untuk memastikan harga energi

Rep: Rizky Jaramaya/ Red: Esthi Maharani
Seorang pekerja berjalan di samping ketel di pabrik R-CUA perusahaan Prancis, di Strasbourg, Prancis timur, Jumat, 7 Oktober 2022. Krisis energi Eropa dan memburuknya masalah iklim telah mempercepat upaya perusahaan, dan sekarang bertujuan untuk meninggalkan semua penggunaan bahan bakar fosil dan mengandalkan 100% pada energi daur ulang pada tahun 2050.
Foto:

REPUBLIKA.CO.ID, BRUSSELS -- Para pemimpin Uni Eropa memasuki pekan yang cukup penting untuk memastikan harga energi, agar tidak membebani ekonomi di tengah meningkatnya inflasi. Pada saat yang sama, mereka harus menjaga 27 anggota Uni Eropa tetap bersatu dalam menentang Presiden Rusia Vladimir Putin.

Menjelang dibukanya pertemuan tingkat tinggi pada Kamis (20/10/2022), Komisi eksekutif Uni Eropa mempresentasikan cetak biru pada Selasa (18/10/2022) untuk menyatukan perbedaan pendapat mengenai pembatasan harga gas. Dalam surat undangan kepada 27 pemimpin negara Eropa, Presiden Dewan Uni Eropa Charles Michel mengatakan, ada tiga tindakan yang perlu disepakati yaitu mengurangi permintaan, memastikan keamanan pasokan dan menahan harga.

Tidak butuh waktu lama bagi negara-negara anggota Uni Eropa untuk menyadari bahwa ketergantungan blok tersebut pada energi Rusia adalah kesalahan politik yang besar.  Mereka mengetahuinya setelah Rusia menginvasi negara tetangganya, Ukraina pada 24 Februari.

Di tengah sanksi yang dijatuhkan pada sektor energi Rusia, Uni Eropa telah berjuang untuk menemukan cara agar tetap mendapatkan pasokan gas selama musim dingin. Kekurangan pasokan energi telah dirasakan oleh penduduk Uni Eropa. Mereka harus merogoh kantong lebih dalam untuk membayar listrik. Selain itu, harga energi yang semakin meningkat telah mempengaruhi usaha kecil menengah (UKM). Banyak UKM yang menutup bisnisnya karena tak mampu membayar tagihan listrik yang melambung.

“Musim dingin yang akan datang dapat membekukan dan menghancurkan sentimen Eropa, rasa memiliki bersama, rasa saling percaya di antara negara-negara Eropa, dan keterikatan emosional warga terhadap gagasan Eropa,” kata Pawel Zerka dari Dewan Eropa untuk Hubungan Luar Negeri.

Perdana Menteri Belgia, Alexander De Croo dalam beberapa pekan terakhir telah berusaha keras untuk membatasi semua impor gas ke Uni Eropa. Sementara negara-negara lain seperti Polandia dan Yunani juga meningkatkan tekanan pada Komisi Uni Eropa.

Badan eksekutif Uni Eropa akan bergerak maju dengan rencana untuk mengatasi kekurangan pasokan energi. Suara Uni Eropa untuk pembatasan gas Rusia terpecah. Jerman tidak mendukung batas harga gas penuh. Sementara negara lain meyakini pembatasan harga gas tidak akan menyebabkan penurunan penawaran di pasar.

Kamisi Eropa diharapkan dapat berkompromi menciptakan indeks gas LNG baru yang lebih mencerminkan pasar, menyusul pengurangan drastis impor gas pipa dari Rusia. Badan Energi Internasional (IEA) sebelumnya mengatakan, keamanan pasokan gas Eropa menghadapi risiko yang belum pernah terjadi sebelumnya karena Rusia mengintensifkan penggunaan pasokan gas alam sebagai senjata politik. Bahkan bahaya masih mengintai, jika ada penimbunan pasokan gas dan ketergantungan pada pasokan Rusia telah berkurang hingga kurang dari 10 persen.

"Kemungkinan penghentian total pengiriman gas Rusia tidak dapat diabaikan menjelang musim pemanasan 2022/2023, ketika sistem gas Eropa berada pada titik paling rentan," kata IEA.

sumber : Reuters
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement