REPUBLIKA.CO.ID, MOSKOW -- Rusia mengatakan akan menilai ulang kerja sama dengan Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres bila ia mengirimkan pakar ke Ukraina untuk menginspeksi drone-drone yang menurut negara-negara Barat merupakan produksi Iran. Bagi Barat penggunaan drone itu melanggar resolusi PBB.
Dalam rapat tertutup Dewan Keamanan PBB mengenai penggunaan drone di Ukraina, Deputi Duta Besar PBB Rusia untuk PBB Dmitry Polyanskiy meminta Guterres dan stafnya untuk "menahan diri dari untuk terlibat dengan setiap penyelidikan ilegal".
"Jika tidak kami akan menilai ulang kolaborasi kami dengan mereka, yang mana hampir tidak menguntungkan bagi siapa pun, kami tidak menginginkannya, tapi tidak ada pilihan lain," katanya pada wartawan, Selasa (19/10/2022).
Polyanskiy tidak menjelaskannya lebih lanjut. Rapat Dewan Keamanan mengenai penggunaan drone dalam perang Rusia di Ukraina merupakan permintaan Amerika Serikat (AS), Prancis dan Inggris yang berpendapat drone-drone itu produksi Iran dan penggunaannya melanggar resolusi 2015 yang mendukung kesepakatan nuklir.
Teheran membantah memasok drone ke Moskow dan Rusia membantah pasukannya menggunakan drone Iran dalam serangan ke Iran.
"Iran memiliki kewajiban untuk tidak mengekspor senjata-senjata ini, sebagai anggota PBB, Iran memiliki tanggung jawab untuk tidak mendukung agresi perang Rusia," kata Deputi Duta Besar Inggris untuk PBB James Kariuki.
Pada pekan ini Ukraina mengundang pakar-pakar PBB untuk menginspeksi beberapa drone yang berhasil dijatuhkan. Guterres melaporkan implementasi resolusi 2015 ke Dewan Keamanan PBB dua kali setahun, biasanya bulan Juni dan Desember. Semua asesmen pada drone-drone yang ditembak jatuh di Ukraina tampaknya akan masuk ke laporan itu.
"Sebagai kebijakan, kami selalu siap untuk menyelidiki setiap informasi dan menganalisis setiap informasi yang dibawa oleh negara anggota," kata juru bicara PBB Stephane Dujarric.
Iran dan Rusia berpendapat tidak ada mandat yang mengharuskan Guterres mengirimkan pakar ke Ukraina untuk menginspeksi drone-drone itu. Dalam suratnya ke Guterres pada Rabu kemarin, Duta Besar Iran untuk PBB Amir Saeid Iravani mengatakan dasar hukum undangan Ukraina pada pakar PBB "lemah."
Ia meminta Guterres "untuk mencegah setiap penyalahgunaan" resolusi dan isu pejabat PBB yang berkaitan pada perang Ukraina. Sementara itu Duta Besar Prancis untuk PBB Nicolas de Riviere mengatakan Guterres memiliki mandat untuk melakukan asesmen teknis.
"(Guterres) memiliki mandata yang jelas untuk memberikan laporan dua kali setahun pada semua hal ini dan untuk melakukan asesmen teknis, sehingga saya kira sekretariat PBB akan jalan dan akan pergi," katanya.
Berdasarkan resolusi 2015 embargo senjata konvensional pada Iran berlaku sampai Oktober 2020. Tapi Ukraina dan negara-negara Barat berpendapat resolusi itu masih termasuk pembatasan pada rudal dan teknologi yang berkaitan dengannya sampai Oktober 2023 dan dapat mencakup ekspor dan pembeliaan senjata militer canggih seperti drone.
Dewan Keamanan PBB tidak dapat mengambil tindakan substansial dalam perang di Ukraina. Sebab Rusia memiliki hak veto di lembaga 15 negara anggota itu, bersama Cina, AS, Prancis, dan Inggris. Dujarric menolak mengomentari pernyataan Polyanskiy.