REPUBLIKA.CO.ID, ABU DHABI — Duta Besar UEA untuk PBB Lana Nusseibeh pada Kamis (20/10/2022), mengatakan tidak dapat menerima bahwa anak perempuan di Afghanistan masih tidak diizinkan untuk mengenyam sekolah menengah. Sudah satu tahun lebih anak-anak perempuan di Afghanistan sejak dipimpin Taliban tidak bisa duduk di bangku sekolah.
“Ini memungkinkan apartheid gender,” kata Kepada Dewan Keamanan PBB Nusseibeh dilansir dari The National News, Jumat (21/10/2022).
“Kami menemukan diri kami masih berjuang melawan kesalahpahaman tentang perempuan dan anak perempuan sebagai korban atau penyintas, tetapi bukan agen perubahan,” kata dia dalam pertemuan tahunan yang berfokus pada kepemimpinan perempuan sebagai jalan menuju perdamaian di wilayah yang dilanda konflik.
Nusseibeh mengatakan pengucilan perempuan Afghanistan dari kehidupan publik dan sosial adalah contoh lain bagaimana kekerasan terhadap perempuan dan anak perempuan dapat terjadi dalam berbagai bentuk.
“Sekarang lebih dari sebelumnya, tindakan adalah bagian yang hilang,” katanya. “Kita harus berhenti berbicara tentang pemberdayaan perempuan dan hanya memberi mereka kekuatan.”
Dia menambahkan bahwa ketika perempuan berpartisipasi dalam ekonomi, “mereka lebih tahan terhadap kekerasan”.
Dia menekankan pentingnya perempuan mendapatkan akses ke teknologi untuk membantu mereka mencapai kesetaraan ekonomi dengan laki-laki.
“Suara mereka perlu didengar dan diperkuat di sekolah, dengan teman sekelas mereka dan di semua aspek kehidupan publik di mana mereka berada,” kata Nusseibeh. “Mari beri mereka alat digital untuk bersaing di dunia yang sama dengan pria dan anak laki-laki.”
Direkturr Eksekutif UN Women, Sima Bahoua mengatakan ada kekurangan dana yang besar untuk organisasi perempuan di negara-negara yang terkena dampak konflik, menurun dari 181 juta dolar pada 2019 menjadi 150 juta dolar pada 2020.
“Di Afghanistan pada 2022, 77 persen organisasi masyarakat sipil perempuan belum menerima dana dan tidak lagi menjalankan program,” kata Bahous.
Dia juga mencatat bahwa keterwakilan perempuan di parlemen nasional pada tahun 2021 adalah 5 persen lebih rendah di negara-negara yang terkena dampak konflik daripada rata-rata global, dan 12 persen lebih rendah di pemerintah daerah.