REPUBLIKA.CO.ID,BEIRUT -- Nasser Tabarani merupakan pengungsi Palestina yang tinggal di Lebanon. Dia telah dua kali mencoba bermigrasi melalui laut ke kehidupan yang lebih baik di Eropa tetapi ditahan oleh pasukan kedua kali dan dibawa kembali ke pantai.
Meski dua kali gagal, Tabarani akan melakukannya lagi. Dia merasakan kehidupan menjadi tidak layak huni bagi sebagian besar warga Palestina di Lebanon yang dilanda krisis berkepanjangan.
Ayah tujuh anak berusia 60 tahun itu mengatakan, meminjam total 7.000 dolar AS untuk mencoba dan meninggalkan Lebanon. Sekarang dia memiliki hutang yang tidak dapat dibayar. "Anak-anak saya masih kecil. Masa depan mereka hilang,” kata Tabrani dari belakang kios sayurnya di salah satu gang ramai di kamp pengungsi Bourj al-Barajneh di Beirut.
"Keluarga saya dan sebagian besar keluarga lain telah hancur. Kami tidak bisa tinggal di Lebanon lagi," ujarnya.
Krisis ekonomi Lebanon yang belum pernah terjadi sebelumnya tidak hanya menghancurkan Lebanon tetapi juga telah memukul para pengungsi Palestina. Para pengungsi telah tinggal di negara kecil Timur Tengah ini selama beberapa generasi, sejak pembentukan Israel pada 1948 dan kabur dari kamp serupa di Suriah yang menghadapi perang saudara pada 2011.
Badan PBB untuk pengungsi Palestina (UNRWA) mengatakan pada Jumat (21/10/2022), orang-orang Palestina telah jatuh jauh ke dalam kemiskinan, banyak yang berjuang untuk mendapatkan kehidupan paling sederhana dengan kurang dari dua dolar AS per hari. Sedangkan yang lain mempertaruhkan hidup untuk mencari masa depan yang lebih baik di luar negeri, mencoba penyeberangan berbahaya di Laut Mediterania.
UNRWA mengatakan, kemiskinan telah mencapai 93 persen di antara sekitar 210 ribu warga Palestina di 12 kamp pengungsi Lebanon dan dalam kondisi hidup yang penuh sesak di luar kamp. Menurut UNRWA, 180 ribua adalah warga Palestina yang telah tinggal di Lebanon selama beberapa dekade, sementara sekitar 30 ribu tiba dari Suriah sejak perang pecah. Ada puluhan ribu lainnya yang belum terdaftar oleh UNRWA tetapi diyakini tinggal di Lebanon.
Badan tersebut meminta bantuan 13 juta dolar AS agar dapat memberikan bantuan yang sangat dibutuhkan. Dana yang ada nantinya akan langsung diberikan kepada keluarga Palestina dan uang tunai tersebut akan memungkinkan UNRWA untuk terus menjalankan layanan perawatan kesehatan primer dan menjaga sekolah yang dikelola lembaga tetap buka hingga akhir tahun.
“Para pengungsi telah mencapai titik terendah di Lebanon,” kata petugas informasi publik UNRWA di Lebanon Hoda Samra.
Samra menggambarkan situasi pengungsi Palestina di Lebanon sebagai bencana. "Orang-orang berada di ambang keputusasaan dan mereka tidak akan rugi lagi,” ujarnya.
Bulan lalu, sebuah kapal yang membawa sejumlah migran Lebanon, Suriah, dan Palestina tenggelam di lepas pantai Suriah. Peristiwa ini ini merenggut nyawa lebih dari 100 orang, termasuk 25 warga Palestina.
Jumlah orang Palestina yang mencoba meninggalkan Lebanon telah meningkat sejak Oktober 2019, setelah meletusnya krisis ekonomi. Samra mengatakan, meskipun UNRWA tidak memiliki angka pasti untuk warga Palestina yang mencoba meninggalkan Lebanon melalui laut, jumlahnya terus meningkat.
"Ini sendiri, sekali lagi, menggambarkan tingkat keputusasaan dan ketidakberdayaan. Tidak ada seorang pun, tidak seorang pun, akan menerima untuk melemparkan dirinya dan keluarganya ke laut jika mereka memiliki pilihan lain," ujar Samra.
Sejak kehancuran ekonomi akibat salah urus pemerintahan dan korupsi, pound Lebanon telah kehilangan lebih dari 90 persen nilainya, sementara puluhan ribu orang kehilangan pekerjaan, meningkatkan tajam jumlah pengangguran. Tingkat kejahatan juga meningkat dengan beberapa orang terpaksa mencuri untuk membeli makanan.
Terlebih lagi kondisi semakin sulit bagi pengungsi Palestina yang telah lama menghadapi diskriminasi di Lebanon. Menurut UNRWA, mereka dilarang bekerja di 39 profesi, termasuk di bidang kedokteran, kedokteran gigi, farmasi dan hukum.
Sumber: