Senin 24 Oct 2022 07:35 WIB

Pejabat: 220 Tewas dalam Bentrokan Suku di Sudan

Bentrokan antarsuku terjadi karena sengketa tanah.

Rep: Mabruroh/ Red: Friska Yolandha
Demonstran Sudan menghadiri rapat umum untuk menuntut kembalinya pemerintahan sipil, di Khartoum, Sudan, 6 Oktober 2022.
Foto: AP Photo/Marwan Ali
Demonstran Sudan menghadiri rapat umum untuk menuntut kembalinya pemerintahan sipil, di Khartoum, Sudan, 6 Oktober 2022.

REPUBLIKA.CO.ID, KHARTUM -- Pejabat senior Kesehatan Sudan mengungkapkan pertempuran suku di selatan dalam dua hari ini telah menewaskan sedikitnya 220 orang. Peristiwa ini menandai salah satu serangan kekerasan suku paling mematikan dalam beberapa tahun terakhir. 

Dilansir dari Al Arabiya, Senin (23/10/2022), Kerusuhan ini semakin menambah kesengsaraan negara Afrika yang terperosok dalam konflik sipil dan kekacauan politik. 

Baca Juga

Pertempuran di provinsi Nil Biru, yang berbatasan dengan Ethiopia dan Sudan Selatan, muncul kembali awal bulan ini karena sengketa tanah. Bentrokan terjadi antara suku Hausa melawan orang-orang Berta.

“Ketegangan meningkat pada Rabu dan Kamis di kota Wad el-Mahi di perbatasan dengan Ethiopia,“ kata Direktur jenderal Kementerian Kesehatan di Blue Nile, Fath Arrahman Bakheit.

Pejabat menghitung setidaknya 220 orang tewas pada Sabtu (21/10/2022) malam. Perhitungan ini bisa jauh lebih tinggi karena tim medis tidak dapat mencapai pusat pertempuran.

Bakheit mengatakan konvoi kemanusiaan dan medis pertama berhasil mencapai Was el-Mahi Sabtu malam untuk mencoba menilai situasi, termasuk menghitung para korban meninggal dan lusinan yang terluka.

“Dalam bentrokan seperti itu, semua orang kalah,” katanya. 

“Kami berharap ini segera berakhir dan tidak pernah terjadi lagi. Tetapi kita membutuhkan intervensi politik, keamanan, dan sipil yang kuat untuk mencapai tujuan itu,” jelasnya.

Rekaman dari tempat kejadian, yang sesuai dengan pelaporan Associated Press, menunjukkan rumah-rumah yang terbakar dan tubuh hangus. Yang lain menunjukkan wanita dan anak-anak melarikan diri dengan berjalan kaki.

Banyak rumah yang terbakar habis dalam pertempuran itu, yang menyebabkan sekitar 7.000 orang mengungsi ke kota Rusyaris. Lainnya melarikan diri ke provinsi tetangga, menurut Kantor PBB untuk Koordinasi Urusan Kemanusiaan.

Pihak berwenang memerintahkan jam malam di Wad el-Mahi dan mengerahkan pasukan ke daerah itu. Mereka juga membentuk komite pencari fakta untuk menyelidiki bentrokan tersebut, menurut kantor berita SUNA yang dikelola pemerintah.

Pertempuran antara kedua kelompok itu pertama kali meletus pada pertengahan Juli, menewaskan sedikitnya 149 orang pada awal Oktober. Ini memicu protes kekerasan dan memicu ketegangan antara dua suku di Blue Nile dan provinsi lainnya.

Pertempuran terakhir terjadi pada saat kritis bagi Sudan, hanya beberapa hari sebelum ulang tahun pertama kudeta militer yang semakin menjerumuskan negara itu ke dalam kekacauan. Kudeta itu menggagalkan transisi singkat negara itu menuju demokrasi setelah hampir tiga dekade pemerintahan represif Omar al-Bashir, yang digulingkan pada April 2019 oleh pemberontakan rakyat.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement