Selasa 25 Oct 2022 05:35 WIB

PBB Tangguhkan Misi Anti Penyiksaan Australia

PBB menangguhkan misi anti penyiksaan ke Australia setelah dilarang memantau penjara

Rep: Fergi Nadira B/ Red: Esthi Maharani
Pemandangan udara dari Pusat Pemasyarakatan (penjara) Darwin, Australia di Holtze. PBB menangguhkan misi anti penyiksaan ke Australia setelah dilarang memantau beberapa penjara Australia.
Foto: ABC
Pemandangan udara dari Pusat Pemasyarakatan (penjara) Darwin, Australia di Holtze. PBB menangguhkan misi anti penyiksaan ke Australia setelah dilarang memantau beberapa penjara Australia.

REPUBLIKA.CO.ID, SYDNEY - PBB menangguhkan misi anti penyiksaan ke Australia setelah dilarang memantau beberapa penjara Australia. Badan pengawas utama PBB pada Senin (24/10/2022) mengecam Australia karena menahan para inspektur memasuki beberapa penjara dan fasilitas penahanan.

Para inspektur ditugaskan dengan fasilitas tur di bawah perjanjian PBB untuk mencegah kekejaman terhadap tahanan. Namun mereka membuat keputusan drastis menangguhkan misi tersebut setelah ditolak masuk di beberapa penjara dan fasilitas penahanan.

Inspektur utama Aisha Muhammad, seorang hakim Mahkamah Agung di Maladewa, mengatakan Australia jelas melanggar kewajiban internasionalnya. "Meskipun banyak upaya kami untuk menjelaskan mandat pencegahan kami, ini jelas tidak dipahami,” katanya seperti dikutip laman Strait Times, Senin.

Hanya tiga negara yakni Rwanda, Azerbaijan dan Ukraina yang memiliki inspektur anti-penyiksaan dan menangguhkan atau menunda misi. Australia meratifikasi Protokol Opsional untuk Konvensi Menentang Penyiksaan (OPCAT) pada 2017, berkomitmen untuk reformasi melindungi tahanan dan membuat fasilitas tunduk pada inspeksi.

Mantan inspektur penjara Steven Caruana mengoordinasikan badan domestik yang bertanggung jawab untuk melacak implementasi konvensi Australia. "Benar-benar tidak ada alasan mengapa delegasi dihalangi,” katanya, Senin.

"Australia memiliki waktu hampir lima tahun untuk mempersiapkan kunjungan ini. Australia sekarang harus bertanggung jawab atas bencana memalukan ini di depan Komite PBB Menentang Penyiksaan," ujarnya menambahkan.

Penolakan Australia untuk menyambut para inspektur berujung pada perselisihan pendanaan antara pemerintah federal dan negara bagian. Pemerintah federal meratifikasi konvensi tersebut, tetapi masing-masing negara bagian dan teritori bertanggung jawab untuk mewujudkannya.

New South Wales dan Queensland telah menghentikan proses tersebut. Pihaknya mengatakan bahwa mereka membutuhkan lebih banyak dana untuk menerapkan konvensi tersebut.

New South Wales pekan lalu memblokir inspektur PBB dari penjara gedung pengadilan kecil. Sementara Queensland menolak untuk mengizinkan inspektur mengunjungi unit rawat inap di fasilitas kesehatan mental.

Delegasi PBB mengatakan telah dihalangi untuk mengunjungi beberapa tempat di mana orang ditahan dan tidak diberikan semua informasi dan dokumentasi relevan yang dimintanya. Penjara Australia, pusat penahanan pemuda, dan kompleks imigrasi telah diganggu oleh tuduhan pelanggaran hak asasi manusia yang terus-menerus, terutama terhadap komunitas Aborigin.

Profesor kriminologi Lorana Bartels mengatakan ada kebutuhan yang jelas untuk pengawasan yang lebih besar. "Jelas, ada masalah dengan pengelolaan fasilitas pemasyarakatan di Australia,” katanya. “Ini menunjukkan kurangnya pemahaman dan rasa hormat terhadap proses ini," imbuhnya.

Australia memiliki waktu hingga Januari 2023 untuk memenuhi kewajibannya. Tidak ada hukuman untuk melewatkan tenggat waktu, tetapi Australia dapat ditempatkan pada daftar negara-negara yang tidak patuh dengan masalah hak asasi manusia yang signifikan.

sumber : Reuters
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement