Jumat 28 Oct 2022 09:14 WIB

Pemulihan Semakin Kuat, Kemenkeu Optimistis Ekonomi Tumbuh 5,3 Persen pada 2023

Pemerintah optimistis terhadap pertumbuhan ekonomi yang tecermin dari APBN 2023.

Rep: Novita Intan/ Red: Ichsan Emrald Alamsyah
Seorang karyawan berjalan usai bekerja di Jakarta. Pemerintah optimistis ekonomi Indonesia tumbuh 5,3 persen pada 2023. Hal ini seiring pemulihan ekonomi yang semakin kuat dan berkualitas pada tahun depan.
Foto: ANTARA/Muhammad Adimaja
Seorang karyawan berjalan usai bekerja di Jakarta. Pemerintah optimistis ekonomi Indonesia tumbuh 5,3 persen pada 2023. Hal ini seiring pemulihan ekonomi yang semakin kuat dan berkualitas pada tahun depan.

REPUBLIKA.CO.ID,  JAKARTA -- Pemerintah optimistis ekonomi Indonesia tumbuh 5,3 persen pada 2023. Hal ini seiring pemulihan ekonomi yang semakin kuat dan berkualitas pada tahun depan.

Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Febrio Nathan Kacaribu mengatakan selama delapan tahun terakhir, pemerintah bersama dengan masyarakat telah memupuk modal penting menciptakan pembangunan yang kondusif.

Hal ini tecermin dalam APBN 2023 yang memfokuskan kepada agenda-agenda utama, yakni SDM unggul, produktif, dan inovatif; akselerasi pembangunan infrastruktur khususnya dalam bidang energi, pangan, konektivitas, dan ICT; efektivitas reformasi birokrasi; revitalisasi industri dengan hilirisasi yang semakin kuat; dan pengembangan pembangunan ekonomi hijau. 

“Pemerintah mengajak masyarakat dapat optimistis dalam memandang risiko dan ketidakpastian global yang sekarang terjadi. Pandemi Covid-19 telah berdampak besar pada perekonomian global. Pergeseran risiko menjadi tantangan yang tidak kalah besarnya,” ujarnya dalam keterangan tulis, Jumat (28/10/2022).

Sementara itu, Ekonom Senior dari Universitas Indonesia, Muhamad Chatib Basri, menambahkan, resesi global tentu akan berpotensi memberikan dampak terhadap perekonomian Indonesia. Menurut dia, salah satu penyebab utama terjadi resesi global karena kenaikan suku bunga di Amerika Serikat yang baru diberlakukan belakangan ini. 

Akibatnya, ekonomi Amerika Serikat melambat dan secara langsung memperlambat laju perekonomian secara global. Adapun salah satu yang terkena dampaknya, yakni harga komoditas dan energi.

“Indonesia menjadi negara yang bergantung dengan dua sektor tersebut juga tentu merasakan dampaknya. Ketika Amerika Serikat mengalami resesi, tentu ini akan berpengaruh terhadap perekonomian di negara lain, termasuk ekonomi Indonesia juga akan mengalami perlambatan,” ucapnya.

Chatib menyebut terpengaruhnya perekonomian Indonesia terhadap hal yang terjadi secara global setidaknya dari dua sisi. Dari sisi jalur perdagangan, resesi global akan mengakibatkan melambatnya ekspor Indonesia.

Namun, share ekspor terhadap produk domestik bruto (PDB) Indonesia relatif kecil yakni sekitar 25 persen, ini jika dibandingkan dengan negara lain seperti Singapura, Korea Selatan, Malaysia, atau negara-negara lain yang berorientasi ekspor. 

Di samping itu, krisis geopolitik yang terjadi, yaitu Perang Rusia-Ukraina, masih membuat harga batu bara relatif tinggi. Maka, Indonesia semakin tertolong karena dampak jalur perdagangan terhadap ekonomi negara relatif terbatas. 

Sedangkan di jalur keuangan, Chatib melihat adanya tekanan terhadap mata uang Rupiah akibat menguatnya mata uang Dollar Amerika Serikat yang terjadi karena pertumbuhan ekonomi Amerika Serikat relatif membaik dibandingkan Eropa serta kenaikan bunga yang dilakukan oleh bank sentral The Fed. 

“Karena tekanan terhadap mata uang Indonesia ini pun kemudian akan terjadi dampak terhadap perekonomian Indonesia melalui balance sheet effect seperti firms, profit repatriation, dan kenaikan suku bunga.  Apakah Indonesia akan masuk dalam resesi? Cara terbaik untuk tidak terdampak pada global tidak terintegrasi pada global. Karena itu, dampak dari perlambatan ekonomi global tergantung seberapa terbuka ekonomi Indonesia,” ucapnya.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement