Jumat 28 Oct 2022 15:12 WIB

Akhiri Krisis Politik, Parlemen Irak Setujui Pemerintahan Baru

Parlemen Irak setujui pemerintahan baru yang akan dipimpin Mohammed Shia al-Sudani

Rep: Kamran Dikarma/ Red: Esthi Maharani
Parlemen Irak telah menyetujui pemerintahan baru yang akan dipimpin Mohammed Shia al-Sudani.
Foto: Iraqi Parliament Media Office via AP
Parlemen Irak telah menyetujui pemerintahan baru yang akan dipimpin Mohammed Shia al-Sudani.

REPUBLIKA.CO.ID, BAGHDAD – Parlemen Irak telah menyetujui pemerintahan baru yang akan dipimpin Mohammed Shia al-Sudani. Selama setahun terakhir, Irak dibekap krisis politik akibat pertikaian faksi-faksi Syiah utama di negara tersebut.

“Pemerintahan Perdana Menteri Mohammed Shia al-Sudani telah memperoleh kepercayaan dari Majelis Nasional,” kata kantor perdana menteri Irak dalam sebuah pernyataan, Kamis (27/10/2022), dilaporkan laman Al Arabiya.

Sudani, yang dicalonkan pada 13 Oktober, memperoleh dukungan dari Koalisi untuk Administrasi Negara, yang mencakup Kerangka Koordinasi, yakni sebuah aliansi faksi-faksi Syiah pro-Iran. Aliansi tersebut memiliki posisi kuat karena menguasai 138 dari 329 kursi parlemen Irak.

Anggota lainnya termasuk kelompok Sunni yang dipimpin ketua parlemen Mohammed al-Halbussi, dan dua partai kunci Kurdi. Sudani dipilih untuk membentuk pemerintahan baru setelah pertikaian mendalam antara faksi-faksi utama Muslim Syiah yang telah melumpuhkan kehidupan politik Irak selama beberapa bulan terakhir.

Sementara itu, kelompok Muqtada al-Sadr, pesaing Sudani di kubu mayoritas Syiah Irak, menolak bergabung dengan pemerintah. “Tim kementerian kami akan memikul tanggung jawab pada periode kritis ini, di mana dunia menyaksikan perubahan dan konflik politik serta ekonomi yang luar biasa,” kata mereka dalam sebuah pernyataan.

Menurut mereka, perubahan tersebut akan menambah tantangan pada Irak yang kini sudah menghadapi akumulasi krisis, tak hanya politik, tapi juga ekonomi dan sosial. Pada 30 Agustus lalu, Presiden Irak Barham Saleh telah mendorong percepatan penyelenggaraan pemilu legislatif. Hal itu guna mengakhiri krisis politik yang semakin dalam di negara tersebut pasca mundurnya Muqtada al-Sadr dari dunia perpolitikan.

“Menyelenggarakan pemilu awal yang baru sesuai dengan konsensus nasional merupakan jalan keluar dari krisis yang menyesakkan ini. Hal tersebut menjamin stabilitas politik dan sosial serta menanggapi aspirasi rakyat,” kata Saleh saat itu.

Saleh menyampaikan pidatonya beberapa jam setelah para pendukung Muqtada al-Sadr menarik diri dari Zona Hijau Baghdad. Sesaat setelah al-Sadr mengumumkan menarik diri aktivitas politik pada 29 Agustus lalu, para pendukungnya segera menggeruduk pusat pemerintahan Irak yang berpusat di Zona Hijau di Baghdad. Kantor-kantor misi diplomatik asing juga berada di zona tersebut.

Bentrokan dan kerusuhan di Zona Hijau akhirnya tak terhindarkan. Setidaknya 30 pendukung al-Sadr ditembak mati oleh pasukan keamanan saat mereka berusaha menerobos istana pemerintah. Lebih dari 570 lainnya mengalami luka-luka dalam kejadian tersebut.

Meski sudah menyatakan mundur dari kegiatan politik, al-Sadr dan para simpatisannya telah menyerukan pembubaran parlemen. Mereka menghendaki penyelenggaraan pemilu baru. Di bawah konstitusi, parlemen hanya dapat dibubarkan dengan suara mayoritas mutlak di majelis, mengikuti permintaan sepertiga dari deputi, atau oleh perdana menteri dengan persetujuan presiden.

Partai al-Sadr, Blok Sadris, memenangkan kursi terbesar di parlemen dalam pemilu yang digelar Oktober tahun lalu. Ia memperoleh 73 kursi. Namun jumlah tersebut masih jauh dari mayoritas. Sejak itu Irak terperosok dalam kebuntuan politik karena ketidaksepakatan faksi-faksi Syiah tentang pembentukan koalisi.

Pada Juni lalu, dia menarik semua anggota partainya dari parlemen. Hal tersebut dilakukan setelah al-Sadr gagal membentuk pemerintahan pilihannya yang akan mengecualikan faksi Syiah yang disokong Iran. Setelah menarik semua anggota partainya dari parlemen, para pendukung al-Sadr menyerbu zona pemerintah pusat di Baghdad. Sejak momen tersebut, mereka melakukan aksi duduk di luar gedung parlemen Irak. Aksi itu berlangsung selama berpekan-pekan. Proses pemilihan presiden dan perdana menteri baru pun terhenti. Selama setahun terakhir, tak ada pemerintahan terpilih di Irak.

Muqtada al-Sadr adalah ulama Syiah terkemuka Irak. Ia merupakan putra keempat dari Imam Syiah Irak Ayatollah Muhammad Baqir al-Sadr. Hingga 2004, Muqtada al-Sadr adalah penguasa de facto bagian kota Sadr, Baghdad. Dia juga mengepalai pasukan Tentara Mahdi.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement