REPUBLIKA.CO.ID, WELLINGTON – Pemerintah Selandia Baru telah menangguhkan dialog bilateral resmi dalam bidang hak asasi manusia (HAM) dengan Iran. Wellington menilai, dialog semacam itu tak dapat lagi dipertahankan karena HAM ditolak di Iran.
Menteri Luar Negeri Selandia Baru Nanaia Mahuta mengatakan, pendekatan bilateral dengan Iran di bidang HAM tak dapat dilanjutkan. Terlebih ketika melihat Teheran merespons aksi unjuk rasa memprotes kematian Mahsa Amini dengan brutal dan represif.
“Kekerasan terhadap perempuan, anak perempuan atau anggota masyarakat Iran lainnya untuk mencegah pelaksanaan HAM universal mereka tidak dapat diterima dan harus diakhiri. Ini jelas merupakan masa yang sulit bagi rakyat Iran,” kata Mahuta dalam sebuah pernyataan, Senin (31/10/2022).
Pada Rabu (26/10/2022) pekan lalu, Selandia Baru telah memperbarui peringatan perjalanannya ke Iran. Ia pun mendesak warganya yang masih berada di negara tersebut untuk segera pergi.
Selandia Baru dan Iran telah mengadakan dialog di bidang HAM pada 2018. Kedua negara berharap hal itu dapat memajukan masalah dan keprihatinan di bidang HAM. Pembicaraan putaran pertama diadakan pada 2021. Sementara dialog lanjutan atau putaran kedua diagendakan berlangsung tahun ini.
Saat ini Iran tengah dibekap krisis akibat gelombang unjuk rasa memprotes kematian Mahsa Amini, perempuan berusia 22 tahun. Pada 13 September lalu, dia ditangkap polisi moral Iran di Teheran. Penangkapan tersebut dilakukan karena hijab yang dikenakan Amini dianggap tak ideal. Di Iran memang terdapat peraturan berpakaian ketat untuk wanita, salah satunya harus mengenakan hijab saat berada di ruang publik.
Setelah ditangkap polisi moral, Amini ditahan. Ketika berada dalam tahanan, dia diduga mengalami penyiksaan. PBB mengaku menerima laporan bahwa Amini dipukuli di bagian kepala menggunakan pentungan. Selain itu, kepala Amini pun disebut dibenturkan ke kendaraan.
Setelah ditangkap dan ditahan, Amini memang tiba-tiba dilarikan ke rumah sakit. Kepolisian Teheran mengklaim, saat berada di tahanan, Amini mendadak mengalami masalah jantung. Menurut keterangan keluarga, Amini dalam keadaan sehat sebelum ditangkap dan tidak pernah mengeluhkan sakit jantung. Amini dirawat dalam keadaan koma dan akhirnya mengembuskan napas terakhirnya pada 16 September lalu.
Kematian Amini dan dugaan penyiksaan yang dialaminya seketika memicu kemarahan publik. Warga Iran turun ke jalan dan menggelar demonstrasi untuk memprotes tindakan aparat terhadap Amini. Perempuan-perempuan Iran turut berpartisipasi dalam aksi tersebut. Mereka bahkan melakukan aksi pembakaran hijab sebagai bentuk protes. Menurut kelompok Iran Human Rights, hingga 25 Oktober lalu, tercatat setidaknya 234 orang telah tewas selama aksi unjuk rasa memprotes kematian Mahsa Amini berlangsung.