REPUBLIKA.CO.ID, BEIRUT – Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengungkapkan, penyebaran wabah kolera kian merebak di Lebanon. Situasi kian parah karena negara tersebut pun tengah dibekap krisis ekonomi.
WHO mengatakan, sejak 5 Oktober lalu, lebih dari 1.400 kasus diduga kolera ditemukan di Lebanon. Dari angka tersebut, sebanyak 381 kasus terkonfirmasi, dengan 17 kematian.
“Situasi di Lebanon rapuh karena negara itu sudah berjuang untuk memerangi krisis lain, ditambah dengan kemunduran politik dan ekonomi yang berkepanjangan,” kata Abdinasir Abubakar, perwakilan WHO di Lebanon, Senin (31/10/2022), dilaporkan laman Al Arabiya.
Menurut WHO, wabah kolera di Lebanon awalnya hanya menyebar di wilayah utara negara tersebut. Namun kini penyakit mematikan itu menjalar dengan sangat cepat ke seluruh Lebanon. WHO telah membantu mengamankan 600 ribu dosis vaksin untuk Lebanon. Mereka bakal berusaha menyuplai lebih banyak dosis guna merespons penyebaran wabah yang cepat.
WHO menduga, rantai penularan kolera di Lebanon dibawa oleh para pengungsi Suriah. “Jenis kolera yang diidentifikasi di Lebanon mirip dengan yang beredar di Suriah," kata WHO.
Pihak berwenang Lebanon mengatakan sebagian besar kasus kolera di sana memang terjadi di antara pengungsi Suriah. Saat ini Lebanon menampung lebih dari 1 juta pengungsi Suriah. Di Suriah, wabah kolera pun sedang merebak. Awal bulan ini, Kementerian Kesehatan Suriah sudah mencatatkan hampir 600 kasus terkonfirmasi dan 39 kematian akibat penyakit tersebut. Itu menjadi wabah kolera terbesar dari Suriah dalam lebih dari satu dekade.
Kolera umumnya ditularkan dari makanan atau air yang terkontaminasi, dan menyebabkan diare serta muntah. Menurut WHO, kolera dapat membunuh dalam beberapa jam jika tidak diobati. Banyak dari mereka yang terinfeksi tidak bergejala atau hanya merasakan gejala ringan.
Kolera dapat menyebar di daerah pemukiman yang tidak memiliki jaringan pembuangan air limbah atau air minum utama. Banyak infrastruktur limbah dan air bersih di Suriah hancur akibat konflik sipil yang telah berlangsung selama sekitar 11 tahun. Menurut PBB, hampir dua pertiga dari instalasi pengolahan air, separuh dari stasiun pompa, dan sepertiga menara air telah rusak selama konflik di Suriah berlangsung.
Sumber wabah kolera terbaru diyakini berasal dari Sungai Efrat yang telah terkontaminasi polusi limbah. Berkurangnya aliran air karena kekeringan, kenaikan suhu, dan bendungan yang dibangun oleh Turki telah memperparah masalah pencemaran.
Menurut PBB, terlepas dari kontaminasi, lebih dari 5 juta dari sekitar 18 juta orang Suriah bergantung pada Efrat untuk air minum mereka. Wabah kolera terbaru sangat mengkhawatirkan bagi kamp pengungsian yang penuh sesak yang memiliki sedikit akses ke air bersih dan produk sanitasi.