REPUBLIKA.CO.ID, MOSKOW -- Kementerian Pertahanan Rusia mengatakan, semua kegiatan pelatihan terkait wajib militer untuk pasukan cadangan telah selesai. Pasukan cadangan ini akan dikerahkan untuk berperang di Ukraina.
"Semua kegiatan yang terkait dengan wajib militer untuk pasukan cadangan telah dihentikan," kata pernyataan Kementerian Pertahanan, dilaporkan Aljazirah, Selasa (1/11/2022).
Pada 21 September, Presiden Vladimir Putin mengumumkan mobilisasi skala besar pertama Rusia sejak Perang Dunia II. Ini menjadi salah satu pertanda bahwa militer Rusia mengalami kemunduran di wilayah timur laut dan selatan Ukraina.
Putin mengatakan, wajib militer diperlukan untuk melindungi negara dan integritas teritorialnya. Tetapi pengumuman itu memicu kekhawatiran di Rusia. Sebagian besar pria yang memenuhi syarat wajib militer memilih untuk melarikan diri dari Rusia ke beberapa negara tetangga. Mereka tidak mau ikut berperang melawan saudara mereka di negara tetangga, Ukraina.
Sebelumnya Menteri Pertahanan Sergei Shoigu mengatakan, sekitar 300.000 personel tambahan akan direkrut dan mereka akan menjadi spesialis dengan pengalaman tempur. Tetapi rekrutmen wajib militer berjalan kacau, karena menyasar orang yang tidak memenuhi syarat.
Putin secara terbuka mengakui kesalahan dan telah membentuk dewan koordinasi baru untuk meningkatkan upaya wajib militer. Putin memastikan bahwa orang-orang yang dikirim ke garis depan dipersenjatai dengan benar.
Ratusan ribu orang melarikan diri dari Rusia untuk menghindari wajib militer. Sementara survei yang dilakukan oleh lembaga jajak pendapat independen Levada Center menemukan, hampir setengah dari responden merasa takut dan 13 persen marah dengan kebijakan wajib militer tersebut.
Rusia masih menduduki sebagian besar wilayah Ukraina selatan dan timur. Rusia telah menganeksasi empat wilayah di Ukraina, yaitu Donetsk, Luhansk, Kherson dan Zaporizhzhia. Namun, aneksasi tersebut menuai kecaman dari Kiev, dan Barat. Bahkan Majelis Umum PBB mengaanggap pencaplokan itu sebagai ilegal.