REPUBLIKA.CO.ID, SEOUL -- Lebih dari 400 orang meninggal dunia pada Oktober dalam serangkaian bencana terkait kerumunan di Asia. Mulai dari kepanikan penonton di stadion sepak bola Kanjuruhan di Indonesia, pesta Halloween di Korea Selatan, hingga ambruknya jembatan yang dipenuhi orang-orang berwisata di India.
Meski dalam dinamika dalam tiga situasi berbeda, para ahli mengatakan, perencanaan yang buruk dan manajemen kerumunan berkontribusi pada bencana di Indonesia dan Korea Selatan sedangkan di India, pihak berwenang masih menyelidiki.
Profesor ilmu sosial komputasi di universitas ETH Zurich yang mempelajari dinamika kerumunan Dirk Helbing menyatakan, ketiga bencana Oktober berfungsi sebagai pengingat dari berbagai cara pihak berwenang bertanggung jawab. Pemerintah seharusnya memastikan keselamatan publik.
"Dalam beberapa dekade terakhir, sains telah memberikan banyak wawasan dan alat baru untuk berkontribusi pada keselamatan dan manajemen kerumunan,” kata Helbing.
“Saya berharap pengetahuan ini akan menyebar dengan cepat dan dengan demikian membantu untuk menghindari bencana di masa depan," ujarnya.
Sebanyak 156 orang meninggal ketika lebih dari 100 ribu orang berbondong-bondong ke distrik Itaewon pada 29 Oktober untuk perayaan Halloween. Acara yang pertama sejak pembatasan ketat Covid-19 di negara itu dicabut.
Gang-gang sempit dan miring di distrik itu menjadi padat dengan orang-orang, yang menyebabkan yang oleh para ahli disebut "turbulensi kerumunan." Saat itulah orang-orang berhimpitan sehingga tidak memiliki kendali penuh atas gerakannya sendiri dan kerumunan bergerak sebagai tubuh yang berkesinambungan.
“Itu tidak mengharuskan siapa pun untuk berperilaku buruk, tidak mengharuskan siapa pun untuk secara agresif atau sengaja mendorong,” kata Peneliti di University of New South Wales, Sydney, Australia, Milad Haghani.
Haghani menyatakan, telah didokumentasikan dengan baik bahwa ketika kepadatan kerumunan mencapai tingkat yang diperkirakan pada perayaan Itaewon, orang-orang akan jatuh, memicu efek domino. Dia telah mempelajari lebih dari 275 tragedi terkait kerumunan seperti itu sejak tahun 1902.
Tapi, Haghani menegaskan, peristiwa itu juga bisa dicegah. Dia menilai, dengan melihat perayaan di masa lalu dan mempertimbangkan berakhirnya pembatasan Covid-19, pihak berwenang dapat dengan mudah mengantisipasi kerumunan besar. Pihak berwenang Korea Selatan juga dapat mempekerjakan ahli pengendalian massa untuk memantau arus orang dan mencegah daerah itu menjadi padat seperti sebelumnya.
Saat peristiwa itu hanya ada 137 petugas untuk menangani kerumunan yang begitu besar. Komisaris Jenderal Badan Kepolisian Nasional Korea Selatan Yoon Hee Keun mengatakan pada Selasa (1/11/2022), dia merasakan tanggung jawab berat atas hilangnya nyawa.
"Sungguh mengecewakan melihat bahwa terlepas dari semua pengalaman ahli, semua studi, semua kesimpulan dan semua yang dilakukan, itu terjadi lagi di negara lain, di lokasi lain, dan itu benar-benar mengakibatkan lebih banyak orang meninggal,” kata Haghani.