REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON - Amerika Serikat (AS) dan Uni Eropa (UE) mengumumkan sanksi baru terhadap rezim militer Myanmar, Selasa (8/11/2022) waktu setempat. Sanksi dijatuhkan kepada pejabat, perusahaan dan pedagang senjata.
AS memasukkan daftar hitam pedagang senjata, Kyaw Min Oo, dan Perusahaan Sky Aviator miliknya. "Kyaw Min Oo memiliki hubungan dekat dengan militer Myanmar dan telah bertindak sebagai perantara untuk mengatur kunjungan ke Myanmar oleh perwira tinggi militer asing," kata pernyataan Departemen Keuangan AS seperti dilansir laman Aljazirah, Rabu (9/11/2022).
Menurut Depkeu AS, Sky Aviator telah memfasilitasi kesepakatan senjata atas nama militer Myanmar termasuk impor suku cadang pesawat. "Kyaw Min Oo mendapat untung dari kekerasan dan penderitaan yang ditimbulkan militer terhadap rakyat Burma sejak kudeta militer,” kata wakil menteri keuangan untuk intelijen keuangan, Brian Nelson.
Sementara sanksi UE berlaku untuk 19 individu dan entitas lainnya termasuk seorang menteri dan kepala kehakiman. "Merupakan hasil dari eskalasi kekerasan dan pelanggaran hak asasi manusia yang terus berlanjut setelah pengambilalihan militer dua tahun lalu," kata Dewan Eropa.
Sanksi UE yang baru juga berlaku untuk anggota militer, anggota Dewan Administrasi Negara (SAC)atau badan yang dibentuk oleh militer untuk menjalankan negara serta layanan peradilan dan penjara. Termasuk daftar hitam adalah Tay Za dan Aung Myo Myint, yang telah berdagang senjata untuk militer Myanmar, dan Naing Htut Aung, yang telah mendanai militer sehubungan dengan tindakan keras terhadap Rohingya dan juga menjadi perantara senjata.
Paket tindakan terbaru menandai tanggal pemilihan umum terakhir di Myanmar ketika Aung San Suu Kyi dan partai Liga Nasional untuk Demokrasinya kembali berkuasa dengan telak. Paket sanksi ini adalah tindakan terbaru pertama UE sejak Februari.
Secara total, 84 individu dan 11 entitas di Myanmar sekarang berada di bawah sanksi UE. Sanksi tersebut mencakup larangan visa dan pembekuan aset di Uni Eropa.
"Uni Eropa memiliki kebijakan yang tepat, untuk memotong sumber pendapatan dan senjata ke militer Burma, tetapi mereka tidak menerapkannya dengan cukup cepat," ujar Direktur Kampanye Burma Inggris Mark Farmaner dalam sebuah pernyataan.
"Setiap hari ada lebih banyak serangan udara, serangan artileri atau penangkapan, UE membutuhkan rasa urgensi. Memotong akses militer Burma ke uang dan senjata akan menyelamatkan nyawa," lanjutnya.
Kampanye Burma mendesak UE untuk memberikan sanksi kepada pemasok bahan bakar penerbangan ke Myanmar dan melarang perusahaan-perusahaan Eropa terlibat dalam penyediaan bahan bakar tersebut ke negara tersebut. Kelompok hak asasi Amnesty International melakukan seruan serupa pekan lalu ketika merilis laporan yang mendokumentasikan 16 serangan udara yang terjadi antara Maret 2021 dan Agustus 2022 di negara bagian Kayah, Kayin dan Chin serta di wilayah Sagaing tengah.
Serangan udara itu menewaskan sedikitnya 15 warga sipil, melukai sedikitnya 36 lainnya dan menghancurkan rumah, bangunan keagamaan, sekolah, fasilitas kesehatan dan sebuah kamp untuk orang-orang terlantar. Dalam dua serangan, militer menggunakan munisi tandan, yang dilarang secara internasional.