REPUBLIKA.CO.ID, KAIRO – India akan mempertahankan penggunaan batu bara setidaknya hingga 2040. Ia mengatakan, sumber daya mineral tersebut masih memainkan peran penting dan signifikan.
Menteri Batu Bara India Pralhad Joshi mengungkapkan, batu bara merupakan sumber energi dengan harga terjangkau. Dia menyebut, permintaan atas komoditas tersebut belum mencapai puncaknya di India.
“Dengan demikian, tidak ada transisi dari batu bara yang terjadi di masa mendatang di India,” kata Joshi saat berbicara di parlemen India, Rabu (9/11/2022), seraya menambahkan bahwa batu bara akan memiliki peran besar hingga tahun 2040 dan seterusnya.
Pernyataan Joshi tentang India yang akan tetap menggunakan batu bara hingga setidaknya 2040 disampaikan saat para pemimpin negara dan organisasi internasional tengah berpartisipasi dalam United Nations Climate Change Conference (COP27) di Mesir. Konferensi tersebut bakal berlangsung hingga 18 November mendatang.
Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres telah menyerukan tindakan global segera untuk mengurangi emisi. Hal itu termasuk menghapus penggunaan batu bara secara bertahap di tingkat global pada 2040.
Dalam COP26 yang digelar di Glasgow, Skotlandia, tahun lalu, muncul klausul yang menyerukan "penghapusan" pembangkit listrik tenaga batu bara. Namun drama muncul di menit-menit akhir. India, didukung Cina dan negara-negara berkembang lainnya yang bergantung pada batu bara, menolak klausul tersebut.
Setelah utusan China, India, Amerika Serikat (AS), dan Uni Eropa melakukan pertemuan, redaksional klausul itu diganti "menghentikan secara bertahap" penggunaan pembangkit listrik tenaga batu bara.
Menteri Lingkungan Hidup India Bhupender Yadav mengatakan, revisi itu mencerminkan "keadaan nasional" negara-negara berkembang. "Kami menjadi suara negara-negara berkembang," ujarnya.
Dia mengisyaratkan adanya diskriminasi dalam klausul yang "bisu" terhadap minyak dan gas alam. "Kami melakukan upaya kami untuk membuat konsensus yang masuk akal bagi negara-negara berkembang dan masuk akal untuk keadaan iklim," ujar Yadav mengacu pada fakta bahwa negara-negara kaya, secara historis, telah memproduksi bagian terbesar dari gas rumah kaca.
Perubahan redaksional dalam klausul itu menuai kekecewaan dari banyak negara, termasuk negara-negara kaya di Eropa. "Saya minta maaf atas cara proses ini berlangsung. Saya sangat menyesal," kata Presiden COP26 Inggris, Alok Sharma, merespons kemarahan berbagai negara atas perubahan di menit-menit akhir.