REPUBLIKA.CO.ID, TEL AVIV – Presiden Israel Isaac Herzog telah secara resmi menugaskan Benjamin Netanyahu untuk membentuk pemerintahan baru negara tersebut, Ahad (13/11/2022). Netanyahu kembali merebut kursi perdana menteri setelah partainya, Likud, dan koalisinya memenangkan pemilu parlemen Israel.
“Kami akan melakukan segalanya untuk membuat ini, dengan pertolongan Tuhan, pemerintahan yang stabil, pemerintahan yang sukses, pemerintahan yang bertanggung jawab, pemerintahan yang berdedikasi yang akan bekerja untuk kepentingan semua penduduk negara Israel, tanpa kecuali,” kata Netanyahu.
Kini Netanyahu memiliki waktu enam pekan untuk menyelesaikan negosiasi dengan koalisinya dan membentuk pemerintahan. Netanyahu diperkirakan akan menyelesaikan proses negosiasi secepat mungkin. Dia diprediksi akan muncul dengan koalisi mayoritas yang stabil di parlemen (Knesset), yakni menguasai 64 dari total 120 kursi tersedia.
Mitra Netanyahu paling menonjol adalah Itamar Ben-Gvir. Dia merupakan tokoh sayap kanan dan kandidat teratas dari partai Religious Zionism. Ben-Gvir telah berulang kali dihukum atas dakwaan menghasut dan mendukung kelompok teror. Ia sempat mengutarakan keinginannya untuk menjabat di Kementerian Keamanan Publik Israel.
Sejumlah pihak telah memperkirakan, jika Ben-Gvir berhasil memimpin Kementerian Keamanan Publik Israel, setiap kebijakan dan tindak tanduknya berpotensi mengobarkan ketegangan dengan Palestina. Netanyahu adalah tokoh yang paling lama menjabat sebagai perdana menteri Israel, yakni selama 12 tahun berturut-turut. Pemerintahannya berakhir pada Juni tahun lalu. Ketika itu, Knesset memberikan suara untuk menentukan apakah mereka mendukung pemerintahan koalisi baru pimpinan Naftali Bennett dan Yair Lapid.
Hasilnya, dari total 120 anggota, 60 di antaranya memberikan dukungan, sementara 59 lainnya menolak. Meski selisihnya sangat tipis, hasil itu mengakhiri masa jabatan Netanyahu. Pada masa pemerintahan Netanyahu, Israel, dengan bantuan mediasi Amerika Serikat (AS), berhasil mencapai kesepakatan normalisasi diplomatik dengan empat negara Arab, yakni Bahrain, Uni Emirat Arab (UEA), Sudan, dan Maroko.
Normalisasi itu bisa dibilang merupakan pencapaian monumental dalam karier politik Netanyahu. Sebab pemulihan hubungan dengan empat negara Arab itu sebenarnya memunggungi Prakarsa Perdamaian Arab. Dalam prakarsa itu, negara-negara Arab menyatakan, mereka hanya akan menjalin atau membuka hubungan diplomatik dengan Israel jika Palestina merdeka dan Yerusalem Timur menjadi ibu kotanya.