REPUBLIKA.CO.ID, KUALA LUMPUR -- Raja Malaysia Tengku Abdullah mengatakan pada Selasa (22/11/2022), akan segera memilih perdana menteri berikutnya. Namun dia tidak menentukan waktu untuk keputusannya, karena krisis politik dari pemilihan umum yang tidak stabil terus berlanjut hingga batas akhir pada hari ini.
"Biarkan saya membuat keputusan segera," kata Raja Malaysia kepada wartawan di luar istana nasional.
Raja Abdullah meminta warga Malaysia menerima setiap keputusan tentang pembentukan pemerintahan. Dia telah memberikan kesempatan kepada partai politik hingga pukul 14.00 waktu setempat pada Selasa untuk mengumpulkan aliansi yang dibutuhkan untuk mayoritas.
Pemilihan pekan lalu menghasilkan suara mayoritas untuk parlemen yang tidak pasti. Tidak ada keputusan untuk menentukan dua pesaing utama yang bisa menjabat perdana menteri, baik dari pihak oposisi yang dipimpin Anwar Ibrahim atau mantan perdana menteri Muhyiddin Yassin.
Pemilihan tersebut memperpanjang ketidakstabilan politik di negara Asia Tenggara yang telah memiliki tiga perdana menteri selama bertahun-tahun. Kondisi itu berisiko menunda keputusan kebijakan yang diperlukan untuk mendorong pemulihan ekonomi.
Koalisi pejawat Barisan Nasional mengatakan, tidak akan mendukung salah satu kandidat. Pengumuman itu merupakan langkah yang akan mencegah Anwar dan Muhyiddin mencapai suara mayoritas di parlemen. Keputusan penetapan ini kini bergantung pada raja yang memainkan peran seremonial tetapi dapat menunjuk siapa pun yang diyakini akan memimpin suara mayoritas.
Ketidakpastian melanda pasar saham Kuala Lumpur yang jatuh untuk hari kedua pada Selasa. Kemenangan pemilu yang signifikan oleh partai Islam menambah ketakutan investor, terutama atas kebijakan perjudian dan konsumsi alkohol.
Perolehan elektoralnya juga menimbulkan kekhawatiran di Malaysia yang multikultural. Negara ini memiliki minoritas etnis Cina dan India yang signifikan mengikuti agama lain. Polisi Malaysia memperingatkan pengguna media sosial negara itu untuk tidak memposting konten "provokatif" tentang ras dan agama setelah pemilu yang memecah belah.
Koalisi progresif Anwar dan aliansi Muslim Melayu konservatif Muhyiddin sebelumnya mengklaim memiliki dukungan mayoritas, meskipun mereka tidak mengidentifikasi pendukungnya. Koalisi Anwar memenangkan kursi terbanyak dalam pemilihan pada 18 November dengan 82 kursi parlemen, sementara blok Muhyiddin memenangkan 73 kursi. Sedangkan suara mayoritas membutuhkan 112 kursi untuk membentuk pemerintahan.
Barisan Nasional memenangkan 30 kursi dan merupakan hasil pemilihan umum terburuk koalisi itu. Namun perolehan ini memainkan peran penting dalam memutuskan siapa yang membentuk pemerintahan karena dukungannya diperlukan agar Anwar dan Muhyiddin mendapatkan 112 kursi.
Kemunduran Barisan Nasional yang pernah dominan dan partai utamanya Organisasi Nasional Melayu Bersatu (UMNO) telah mengantarkan fase ketidakpastian baru di Malaysia. Aliansi ini memimpin setiap pemerintahan sejak kemerdekaan dari penjajahan Inggris pada 1957 hingga kekalahan pertamanya dalam pemilu 2018.
Kelompok ini kembali berkuasa di bawah Ismail pada 2021 setelah runtuhnya dua koalisi sebelumnya akibat pertikaian. Tuduhan korupsi termasuk dana negara 1Malaysia Development Bhd (1MDB) yang menyebabkan mantan perdana menteri Najib Razak dipenjara tahun ini telah merusak citra UMNO di masyarakat.