Senin 28 Nov 2022 15:39 WIB

Jurnalis BBC Jadi Korban Kekerasan Aparat Keamanan China

Jurnalis Ed Lawrence sempat dianiaya oleh aparat keamanan China.

Rep: Kamran Dikarma/ Red: Friska Yolandha
 Seorang pria bertepuk tangan saat protes yang dipicu oleh kebakaran di Urumqi yang menewaskan 10 orang di Beijing, China, Ahad, 27 November 2022. Protes terhadap pembatasan ketat COVID-19 China telah meletus di berbagai kota termasuk Beijing dan Shanghai, dipicu oleh kebakaran menara yang menewaskan 10 orang ibukota Xinjiang, Urumqi.
Foto: EPA-EFE/MARK R.CRISTINO
Seorang pria bertepuk tangan saat protes yang dipicu oleh kebakaran di Urumqi yang menewaskan 10 orang di Beijing, China, Ahad, 27 November 2022. Protes terhadap pembatasan ketat COVID-19 China telah meletus di berbagai kota termasuk Beijing dan Shanghai, dipicu oleh kebakaran menara yang menewaskan 10 orang ibukota Xinjiang, Urumqi.

REPUBLIKA.CO.ID, BEIJING – Otoritas China telah menangkap seorang jurnalis BBC ketika dia tengah meliput aksi warga memprotes kebijakan nol-Covid pemerintah. Muncul laporan bahwa jurnalis bernama Ed Lawrence tersebut sempat dianiaya oleh aparat keamanan di sana.

"BBC sangat prihatin dengan perlakuan jurnalis kami Ed Lawrence, yang ditangkap dan diborgol saat meliput aksi protes di Shanghai," kata BBC dalam sebuah pernyataan.

Baca Juga

Menurut BBC, Lawrence sempat ditahan selama beberapa jam oleh aparat keamanan. Selama masa penahanan, BBC menyebut Lawrence dipukuli dan ditendangi oleh polisi. Setelah dianiaya, Lawrence dibebaskan. “Sangat mengkhawatirkan bahwa salah satu jurnalis kami diserang dengan cara ini saat menjalankan tugasnya,” kata BBC.

BBC mengungkapkan, Lawrence bekerja di China sebagai jurnalis terakreditasi. "Kami tidak memiliki penjelasan resmi atau permintaan maaf dari pihak berwenang China, selain klaim dari pejabat yang kemudian membebaskannya, bahwa mereka telah menangkapnya untuk kebaikannya sendiri jika dia tertular Covid dari kerumunan. Kami tidak menganggap ini sebagai penjelasan yang kredibel," kata BBC.

Pada Ahad lalu, aksi unjuk rasa memprotes penerapan karantina wilayah (lockdown) terjadi di sejumlah wilayah di China, termasuk Beijing. Dalam aksinya, massa, yang telah frustrasi dengan kebijakan nol-Covid pemerintah pusat, tak segan menyerukan Presiden China Xi Jinping mundur.

Kebakaran mematikan di Urumqi, Xinjiang, pekan lalu yang menewaskan 10 orang merupakan pemantik kemarahan warga China. Mereka menilai, upaya penyelamatan dalam insiden itu terhambat karena adanya peraturan lockdown. Kejadian tersebut mendorong warga China turun ke jalan untuk memprotes penerapan lockdown dan menunjukkan simpati pada masyarakat Xinjiang.

Pada Ahad lalu, setidaknya 400 warga China menggelar unjuk rasa di tepi Sungai Liangma. Beberapa peserta aksi meneriakkan, “Kita semua orang Xinjiang! Pergilah orang China”. Dalam aksi tersebut, mereka pun menyanyikan lagu-lagu kebangsaan. Kepolisian Beijing mengawal jalannya unjuk rasa.

Di Shanghai, para pengunjuk rasa menggelar aksinya di jalan Wulumuqi. Wulumuqi merupakan nama Mandarin untuk Urumqi. Selain menunjukkan dukungan untuk warga Urumqi, massa aksi turut mengecam pemerintahan Xi Jinping. “Xi Jinping mundur! Partai Komunis China mundur!” teriak beberapa warga Shanghai yang berpartisipasi dalam unjuk rasa, dilaporkan laman The Straits Times.

Unjuk rasa di Shanghai akhirnya berakhir bentrok dengan aparat kepolisian. Namun pada Ahad sore, ratusan warga Shanghai berbondong-bondong mendatangi jalan Wulumuqi lagi. Mereka membawa kertas kosong dan bunga, kemudian menggelar unjuk rasa senyap.

Aksi unjuk rasa serupa dilaporkan turut terjadi di Wuhan, Guangzhou, Chengdu, dan Hong Kong. Momen protes yang meluas semacam itu jarang terjadi di China. Hal itu karena otoritas Negeri Tirai Bambu selalu berhasil menekan setiap pihak yang mencoba beroposisi atau berseberangan dengan pemerintah. 

sumber : Reuters
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement