REPUBLIKA.CO.ID, BEIJING -- Massa di kota Guangzhou, selatan China bentrok dengan polisi dalam protes terbaru terhadap aturan Covid ketat pada Selasa (29/11/2022) malam waktu setempat. Pejabat kota dikabarkan akan melonggarkan pembatasan Covid di beberapa distrik akibat aksi protes tersebut.
Laman BBC melaporkan Rabu, bahwa rekaman di media sosial menunjukkan polisi dengan pakaian hazmat putih mencengkram perisai anti huru hara untuk melindungi diri dari puing-puing dan kaca yang dilemparkan oleh pengunjuk rasa. Video lain menunjukkan beberapa orang digiring polisi dengan borgol.
Menurut unggahan di media sosial, protes berlangsung pada Selasa malam hingga dini hari Rabu di distrik Haizhu. Seorang warga Guangzhou melihat sekitar 100 petugas polisi berkumpul di desa Houjiao di Haizhu dan menangkap setidaknya tiga pria. Haizhu juga menjadi titik protes Covid massa yang marah awal bulan ini.
Kerusuhan terbaru menyusul gelombang protes di China selama akhir pekan. Aksi protes meluas di Shanghai dan Beijing dipicu oleh kebakaran di blok bertingkat tinggi di wilayah Xinjiang bara, Urumqi yang menewaskan 10 orang pada Kamis pekan lalu. Warga China menuduh penyebab kebakaran dikarenakan pembatasan Covid yang berlangsung lama di kota itu. Meski pihak berwenang menyangkalnya.
Protes di dua kota terbesar China dan kota-kota besar lainnya meluas hingga menuntut diakhirinya tindakan Covid yang ketat dan beberapa juga menyerukan agar Presiden Xi Jinping mundur. Aksi protes itu kemudian surut di tengah kehadiran patroli polisi di tempat demonstrasi terjadi.
Badan keamanan utama negara sejak akhir pekan menyerukan tindakan keras terhadap "pasukan musuh" dan ada laporan polisi menghubungi pengunjuk rasa, menuntut informasi tentang di mana mereka berada. Pada Selasa, pejabat kesehatan mengatakan China akan menyesuaikan dan memodifikasi langkah-langkah untuk mengendalikan dampak negatif terhadap mata pencaharian dan kehidupan orang.
China merupakan satu-satunya negara dengan kebijakan no-Covid super ketat untuk mempertahankan angka kematian yang minim, dibandingkan negara-negara besar seperti Amerika serikat (AS). Otoritas lokal bahkan menekan wabah kecil dengan pengujian massal, karantina, dan penguncian cepat.
Meskipun China mengembangkan vaksin Covid-nya sendiri, teknologi tersebut tidak sebagus teknologi mRNA, seperti suntikan Pfizer dan Moderna yang digunakan di banyak negara lain. Dua dosis vaksin Pfizer/BioNTech memberikan perlindungan 90 persen terhadap penyakit parah atau kematian dibandingkan 70 persen dengan Sinovac buatan China.
Vaksin juga belum diberikan kepada cukup banyak orang di China terutama lansia. Terlalu sedikit orang lanjut usia telah divaksin yang diprediksi pemicu kematian cepat.
China juga menghadapi sangat sedikit natural immunity atau kekebalan alami dari orang yang selamat dari infeksi sebagai akibat dari menghentikan virus di jalurnya. Ini berarti varian baru menyebar jauh lebih cepat daripada virus yang muncul tiga tahun lalu dan selalu ada risiko diimpor dari negara-negara yang membiarkan virus menyebar.