REPUBLIKA.CO.ID, MOSKOW – Menteri Pertahanan Rusia Sergei Shoigu mengatakan, angkatan bersenjata negaranya harus menggunakan sistem senjata terbaru dan lebih canggih dalam peperangan di Ukraina. Pernyataannya mengindikasikan bahwa konflik di Ukraina masih belum akan berakhir.
“Perlu untuk melanjutkan modernisasi dan pembuatan sistem yang menjanjikan dengan penggunaan selanjutnya selama operasi militer khusus,” kata Shoigu pada pertemuan para jenderal senior di Kementerian Pertahanan Rusia, Rabu (30/11/2022).
Meski tidak menjelaskan senjata canggih terbaru macam apa yang bakal dikerahkan di Ukraina, tapi Shoigu mengungkapkan bahwa pengujian sedang dilakukan. “Cara baru untuk menggunakannya dalam pertempuran sedang diuji,” ujarnya tanpa memberikan keterangan terperinci.
Sementara itu, pada Selasa (29/11/2022) lalu, juru bicara Kremlin Dmitry Peskov mengatakan, negosiasi antara Rusia dan Ukraina hanya bisa dimulai jika Kiev menunjukkan kemauan politik untuk membahas tuntutan Moskow. Peskov menyebut, sejauh ini Ukraina belum memperlihatkan hal tersebut.
“Harus ada kemauan politik dan kesiapan untuk membahas tuntutan Rusia yang sudah diketahui,” kata Peskov saat menjawab pertanyaan tentang apakah langkah yang harus diambil otoritas Ukraina guna memulai proses negosiasi selain mengatasi larangan legislatif tentang mengadakan pembicaraan dengan Moskow, dilaporkan laman kantor berita Rusia, TASS.
Peskov mengungkapkan, saat ini negosiasi atau pembicaraan tidak mungkin dilakukan karena hal tersebut sepenuhnya ditolak oleh Ukraina. “Operasi militer khusus (Rusia di Ukraina) terus berlanjut,” ucapnya.
Salah satu tuntutan utama Rusia terhadap Ukraina adalah agar negara tersebut tak bergabung dengan Organisasi Pertahanan Atlantik Utara (NATO). Namun pada 30 September lalu, Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky telah secara resmi mengajukan permohonan aksesi "jalur cepat" aliansi pertahanan tersebut. Hal itu dilakukan setelah Rusia secara resmi menganeksasi empat wilayah Ukraina, yakni Luhansk, Donetsk, Kherson, dan Zaporizhzhia.