Onaga membatalkan persetujuan pada 2015 dengan menyebutkan adanya cacat hukum dalam keputusan Nakaima. Akan tetapi, Mahkamah Agung Jepang tetap memenangikeputusan Pemerintah Pusat pada tahun berikutnya dan mengizinkan dimulainya kembali pekerjaan pembangunan tempat tersebut.
Pada 2018, Prefektur Okinawa mencabut izin untuk pekerjaan semacam itu lagi, dengan alasan penemuan konstruksi tanah yang lemah di lokasi reklamasi yang direncanakan. Pada 2019, menteri pertanahan Jepang saat itu, Keiichi Ishii, membatalkan pencabutan rencana pembangunan oleh Okinawa.
Kepala Sekretaris Kabinet Hirokazu Matsuno menyambut baik keputusan Mahkamah Agung, yang mengindikasikan bahwa Pemerintah Pusat akan dapat melanjutkan relokasi pangkalan AS yang direncanakan.
Matsuno mengatakan pemerintah akan terus bekerja untuk "mewujudkan pengembalian penuh Pangkalan Udara Futenma, yang disebut paling berbahaya di dunia, tanpa penundaan lebih lanjut" sambil meminta persetujuan warga lokal.
Gubernur Okinawa saat ini, Denny Tamaki, menyebut putusan pengadilan itu "sangat disesalkan" dan "tidak mungkin disetujui".
Prefektur Okinawa mencakup sekitar 0,6 persen dari total luas daratan Jepang, tetapi menampung sekitar 70 persen instalasi militer Amerika Serikat di negara tersebut berdasarkan luas areal.
Tokyo mengatakan bahwa relokasi pangkalan militer AS ke Henoko adalah satu-satunya pilihan untuk menghilangkan bahaya yang ditimbulkan oleh pangkalan Futenma karena lokasinya saat ini. Langkah itu diambil Tokyo untuk mempertahankan keamanan pertahanan negara di bawah aliansi keamanan Jepang-AS yang telah lama terjalin.
Okinawa memiliki kepentingan strategis bagi Jepang dan AS mengingat kehadiran China yang semakin meluas dan ancaman rudal dan nuklir Korea Utara.