Senin 12 Dec 2022 03:05 WIB

Pelonggaran Zero Covid-19 Buat China Hadapi Masalah Baru

Pelonggaran kebijakan nol Covid-19 menimbulkan masalah baru

Rep: Adysha Citra Ramadani/ Red: Esthi Maharani
Seorang wanita lanjut usia dengan tandu didorong ke klinik demam di sebuah rumah sakit di Beijing, Minggu, 11 Desember 2022. Menghadapi lonjakan kasus COVID-19, China menyiapkan fasilitas perawatan intensif dan berusaha memperkuat rumah sakit seperti Beijing memutar kembali kontrol anti-virus yang mengurung jutaan orang di rumah mereka, menghancurkan pertumbuhan ekonomi dan memicu protes.
Foto: AP Photo/Andy Wong
Seorang wanita lanjut usia dengan tandu didorong ke klinik demam di sebuah rumah sakit di Beijing, Minggu, 11 Desember 2022. Menghadapi lonjakan kasus COVID-19, China menyiapkan fasilitas perawatan intensif dan berusaha memperkuat rumah sakit seperti Beijing memutar kembali kontrol anti-virus yang mengurung jutaan orang di rumah mereka, menghancurkan pertumbuhan ekonomi dan memicu protes.

REPUBLIKA.CO.ID, BEIJING -- Aksi protes warga berhasil mendorong pemerintah China untuk melonggarkan kebijakan nol Covid-19. Namun, pelonggaran ini ternyata diikuti oleh masalah baru yang menerpa sistem layanan kesehatan di negara tersebut.

Di kota prefektur Baoding misalnya, warga mengeluhkan kekurangan pasokan medis di saat kasus Covid-19 meningkat. Beberapa stok obat-obatan seperti ibuprofen tampak sudah kembali ditambah dan telah tersedia di banyak apotek. Namun, obat-obatan tradisional China yang populer seperti Lianhua Qingwen dan kit tes antigen masih sulit ditemukan.

Tak hanya Baoding, keterbatasan pasokan obat dan alat tes juga dialami oleh berbagai layanan apotek daring. Padahal, pemerintah China menganjurkan warga yang bergejala untuk melakukan pemeriksaan dengan alat tes Covid-19 mandiri. Kondisi ini berpotensi mempersulit warga yang mengalami gejala Covid-19 berat untuk mendapatkan pengobatan.

Li merupakan salah satu warga Baoding yang mengalami kesulitan dalam mengakses obat-obatan Covid-19. Saat mendapatkan hasil tes Covid-19 positif, Li sudah mempersiapkan diri untuk menjalani karantina selama lima hari di rumah sakit sesuai dengan panduan Covid-19 yang berlaku sebelumnya.

Baca juga : Masyarakat Diajak Terapkan Prokes Meski Kasus Baru Covid-19 Menurun

Namun, satu hari setelah Li terkonfirmasi positif, pemerintah China melonggarkan panduan Covid-19. Pelonggaran itu membuat Li bisa menjalani pemulihan di rumah.

Namun yang menjadi masalah, Li tak memiliki obat-obatan apa pun di rumahnya. Di sisi lain, antrean panjang terjadi di berbagai apotek sehingga menyulitkan Li untuk membeli obat-obatan. Padahal, saat itu Li masih mengalami gejala demam.

"Saya tak bisa membeli obat apa pun saat itu," jelas Li, seperti dilansir //Reuters//.

Menjalani karantina mandiri di rumah juga tak selalu menjadi opsi yang baik. Di tengah musim dingin yang sedang melanda, warga Baoding juga sedang mengalami krisis pasokan pemanas karena pasokan batu bara yang kurang stabil.

Warga Baoding lain, Wang, mengatakan suhu udara di rumahnya sudah mencapai 18 derajat Celsius. Padahal, saat ini ada dua anggota keluarganya yang sedang terinfeksi Covid-19. Suhu yang dingin dan tak stabil ini dinilai dapat menambah risiko penyakit yang serius pada warga.

Baca juga : Sudah Lama Nggak Cuci Handuk, Ini Risikonya

Keputusan pemerintah Cina untuk melonggarkan restriksi Covid-19 disambut baik oleh sebagian orang. Namun di saat yang sama, keputusan tersebut juga memunculkan kekhawatiran pada sebagian orang lainnya. Alasannya, tingkat vaksinasi Covid-19 di Cina masih relatif rendah.

Selain itu, pelonggaran kewajiban tes PCR di Cina juga membuat otoritas kesehatan sulit untuk mendeteksi kasus dengan cepat. Mengingat jumlah penduduk Cina mencapai 1,4 miliar, kendornya tes PCR turut menyulitkan otoritas kesehatan untuk menekan penyebaran infeksi Covid-19. Bila peningkatan kasus Covid-19 terus berlanjut, kehidupan masyarakat dan ekonomi di negara tersebut juga bisa ikut terganggu.

"Pasti akan ada peningkatan angka infeksi (dalam beberapa pekan ke depan)," ujar ahli epidemiologi dari Hong Kong University, Ben Cowling.

Setelah pelonggaran restriksi dilakukan, pemerintah China belum memprediksi potensi kasus berat dan kematian akibat Covid-19 yang mungkin terjadi. Namun pada Oktober lalu, China sempat memprediksi ada setidaknya 100 kematian pada setiap 100.000 kasus infeksi Covid-19.

Baca juga : Musim Window Dressing Tiba, Ini Pilihan Saham Berpotensi Cuan

Tantangan lain yang akan dihadapi oleh layanan kesehatan di Cina adalah keterbatasan fasilitas. Saat ini, China hanya memiliki 138.100 kasur rumah sakit untuk layanan kritis. Di masa pandemi Covid-19, jumlah tersebut terbilang rendah untuk populasi China yang besar.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement