REPUBLIKA.CO.ID, NEW YORK -- Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (DK PBB) mengadopsi resolusi pertama untuk Myanmar dalam 74 tahun pada Rabu (21/12/2022). Resolusi ini menuntut diakhirinya kekerasan dan mendesak junta militer membebaskan semua tahanan politik, termasuk Aung San Suu Kyi.
"Hari ini kami telah mengirim pesan tegas kepada militer bahwa mereka tidak boleh ragu, kami berharap resolusi ini dilaksanakan secara penuh," kata Duta Besar Inggris untuk PBB Barbara Woodward setelah pemungutan suara pada resolusi yang dirancang negaranya itu.
"Kami juga telah mengirim pesan yang jelas kepada rakyat Myanmar bahwa kami mencari kemajuan sesuai dengan hak, keinginan, dan kepentingan mereka," kata Woodward kepada dewan beranggotakan 15 perwakilan negara itu.
Myanmar berada dalam krisis sejak tentara mengambil alih kekuasaan dari pemerintahan terpilih Suu Kyi pada 1 Februari 2021. Suu Kyi dan pejabat lainnya ditahan, sehingga memicu protes besar yang ditanggapi dengan tindakan kekerasan oleh junta.
Negosiasi rancangan resolusi DK PBB tentang Myanmar ini dimulai pada September. Teks awal yang dilihat oleh Reuters mendesak diakhirinya transfer senjata ke Myanmar dan mengancam sanksi, tetapi bahasa itu telah dihapus.
Resolusi yang diadopsi hanya mengungkapkan keprihatinan yang mendalam pada keadaan darurat yang terus berlanjut yang diberlakukan oleh militer ketika merebut kekuasaan dan dampak serius terhadap rakyat Myanmar. Dalam teks yang disetujui, DK PBB mendesak tindakan konkret dan segera untuk mengimplementasikan rencana perdamaian yang disetujui oleh Perhimpunan Bangsa Bangsa Asia Tenggara (ASEAN).
DK PBB juga mengeluarkan seruan untuk menjunjung tinggi institusi dan proses demokrasi. "Untuk mengejar dialog dan rekonsiliasi yang konstruktif sesuai dengan keinginan dan kepentingan negara dan warga," ujar resolusi tersebut.
Duta Besar Myanmar untuk PBB yang mewakili pemerintah Suu Kyi, Kyaw Moe Tun, mengatakan meskipun ada elemen positif dalam resolusi tersebut, Pemerintah Persatuan Nasional (NUG) akan lebih memilih teks yang lebih kuat. "Kami jelas ini hanya langkah pertama," katanya.
"Pemerintah Persatuan Nasional meminta DK PBB (untuk membangun) resolusi ini untuk mengambil tindakan lebih lanjut dan lebih kuat untuk memastikan berakhirnya junta militer dan kejahatannya," ujarnya.
Kelahiran resolusi DK PBB terbaru ini merupakan kekompakan yang sudah lama terpecah dalam menangani krisis Myanmar. Cina, Rusia, dan India menentang resolusi tersebut dengan abstain dari pemungutan suara pada Rabu. Sedangkan sebanyak 12 anggota yang tersisa memberikan suara mendukung.
"China masih memiliki kekhawatiran," kata Duta Besar Cina untuk PBB Zhang Jun kepada DK PBB setelah pemungutan suara.
"Tidak ada solusi cepat untuk masalah ini. Apakah itu dapat diselesaikan dengan benar atau tidak pada akhirnya, tergantung pada dasarnya, dan hanya, pada Myanmar sendiri," ujarnya menjelaskan Beijing ingin DK PBB mengadopsi pernyataan resmi tentang Naypyidaw, bukan melahirkan sebuah resolusi.
Sedangkan Duta Besar Rusia untuk PBB Vassily Nebenzia mengatakan, negaranya tidak memandang situasi di Myanmar sebagai ancaman bagi perdamaian dan keamanan internasional. Berangkat dari penilaian itu, Moskow percaya hal itu tidak boleh ditangani oleh DK PBB.
Sampai saat ini DK PBB hanya menyetujui pernyataan resmi tentang Myanmar, dengan tentara yang memimpin tindakan keras terhadap Muslim Rohingya pada 2017. Amerika Serikat menilai upaya tersebut sebagai genosida, meski Myanmar membantahnya dan melakukan tindakan yang sah terhadap pemberontak yang menyerang pos polisi.
Satu-satunya resolusi lain yang diadopsi oleh DK PBB tentang Myanmar adalah pada 1948. Ketika itu badan tersebut merekomendasikan Majelis Umum PBB untuk mengakui Myanmar, yang kemudian berubah nama menjadi Burma dan kembali ke nama semula, sebagai anggota badan dunia tersebut.