REPUBLIKA.CO.ID, BRUSSELS – Uni Eropa mengutuk kebijakan Taliban yang melarang perempuan Afghanistan bekerja di organisasi non-pemerintah atau lembaga swadaya masyarakat (LSM). Perhimpunan Benua Biru tengah mengkaji dampaknya terhadap bantuan mereka di negara tersebut.
"Uni Eropa mengutuk keras keputusan Taliban baru-baru ini untuk melarang perempuan bekerja di LSM nasional dan internasional. Kami menilai situasi dan dampaknya terhadap bantuan kami di lapangan,” kata juru bicara Kepala Kebijakan Luar Negeri Uni Eropa Josep Borrell, Nabila Massrali, Sabtu (24/12), dikutip laman Al Arabiya.
Uni Eropa merupakan penyandang dana utama organisasi bantuan yang bekerja di Afghanistan. Namun, mereka tidak mengakui kepemimpinan Taliban sebagai pemerintahan resmi di negara tersebut.
Nabila Massrali mengungkapkan, keputusan Taliban melarang perempuan Afghanistan bekerja di LSM adalah pembatasan keras lainnya terhadap hak asasi perempuan di negara tersebut. Pelarangan itu pun dinilai merupakan pelanggaran mencolok terhadap prinsip-prinsip kemanusiaan.
“Perhatian utama kami akan terus menjadi kesejahteraan, hak, dan kebebasan rakyat Afghanistan,” ucapnya.
Juru bicara Kementerian Ekonomi Taliban Abdulrahman Habib mengatakan, pelarangan perempuan Afghanistan bekerja di LSM diberlakukan karena sejumlah pegawai tidak mematuhi interpretasi pemerintah tentang aturan berpakaian Islami bagi perempuan. Habib menyebut larangan itu bakal diterapkan hingga pemberitahuan lebih lanjut.
Keputusan Taliban melarang perempuan Afghanistan bekerja di LSM domestik maupun internasional diambil kurang dari sepekan setelah mereka mengumumkan pelarangan kuliah bagi kaum perempuan di sana. Menteri Pendidikan Tinggi Taliban Nida Mohammad Nadim mengatakan, larangan itu diperlukan guna mencegah percampuran gender di universitas. Dia meyakini beberapa mata kuliah yang diajarkan di kampus melanggar prinsip-prinsip Islam.
“Para perempuan belajar tentang pertanian dan teknik, tetapi ini tidak sesuai dengan budaya Afghanistan. Anak perempuan harus belajar, tetapi tidak di bidang yang bertentangan dengan Islam dan kehormatan Afghanistan," kata Nadim dalam sebuah wawancara dengan stasiun televisi Afghanistan, Kamis lalu (22/12).
Dia menjelaskan, pemerintahan Taliban sedang berusaha mengatur ulang hal tersebut. Jika pengaturan baru sudah tersedia, kaum perempuan di Afghanistan akan diizinkan kembali untuk berkuliah.
Nadim pun menolak kecaman yang telah dilayangkan sejumlah negara terkait pelarangan berkuliah bagi perempuan yang kini tengah diterapkan, termasuk dari sejumlah negara Muslim. Ia mengatakan, pihak asing harus berhenti mencampuri urusan dalam negeri Afghanistan.
Sejumlah negara Muslim seperti Arab Saudi, Qatar, Pakistan, Turki, termasuk Indonesia, telah mengkritik langkah Taliban melarang kaum perempuan Afghanistan berkuliah. PBB serta sejumlah negara Barat seperti Amerika Serikat dan Inggris turut mengecam kebijakan Taliban tersebut.