Selasa 27 Dec 2022 17:25 WIB

Euforia Akhir Tahun, Kenaikan Kasus di China dan Nasib PPKM

Perlukah berkaca pada kenaikan kasus negara lain saat bangsa ini sudah jenuh?

Petugas kesehatan membawa seseorang ke rumah sakit, di Shanghai, China, Jumat, 23 Desember 2022. Rumah sakit di China berjuang untuk mengatasi karena meningkatnya jumlah kasus COVID-19. Sejak pencabutan mendadak pembatasan COVID-19 domestik, kasus-kasus meroket di China, menyebabkan bisnis tutup karena karyawan sakit, sekolah beralih ke kelas online, dan apotek berjuang dengan tingginya permintaan. Pada 21 Desember, akun WeChat resmi Rumah Sakit Shanghai Deji menerbitkan postingan dengan perkiraan 5,43 juta kasus positif di kota tersebut dan memperkirakan 12,5 juta dapat terinfeksi pada akhir tahun. Sehari setelahnya, postingan tersebut tidak lagi tersedia.
Foto: EPA-EFE/ALEX PLAVEVSKI
Petugas kesehatan membawa seseorang ke rumah sakit, di Shanghai, China, Jumat, 23 Desember 2022. Rumah sakit di China berjuang untuk mengatasi karena meningkatnya jumlah kasus COVID-19. Sejak pencabutan mendadak pembatasan COVID-19 domestik, kasus-kasus meroket di China, menyebabkan bisnis tutup karena karyawan sakit, sekolah beralih ke kelas online, dan apotek berjuang dengan tingginya permintaan. Pada 21 Desember, akun WeChat resmi Rumah Sakit Shanghai Deji menerbitkan postingan dengan perkiraan 5,43 juta kasus positif di kota tersebut dan memperkirakan 12,5 juta dapat terinfeksi pada akhir tahun. Sehari setelahnya, postingan tersebut tidak lagi tersedia.

Oleh : Indira Rezkisari*

REPUBLIKA.CO.ID, Masa liburan akhir tahun ini sungguh berbeda, ya, dibanding dua tahun sebelumnya. Kondisi kasus Covid-19 yang sudah melandai membuat masyarakat percaya diri berwisata. Apalagi pemerintah tidak membatas-batasi publik yang ingin berlibur.

Euforia wisatanya sungguh nyata. Pada hari libur Natal tahun ini pengunjung Taman Margasatwa Ragunan mencapai 78 ribu. Akhirnya, kita bertemu lagi dengan fenomena macet panjang di jalanan sekitar Ragunan setelah dua tahun sebelumnya akses liburan ke sana dibatasi.

Baca Juga

Kepadatan yang sama ditemukan di kawasan wisata sekitar Ibu Kota seperti Ancol, Taman Mini Indonesia Indah, Monas hingga ke pusat-pusat perbelanjaan. Masyarakat Indonesia percaya diri kalau Covid-19 tak berbahaya seperti dulu. Apalagi bila sudah melakukan vaksinasi hingga dosis ketiga bahkan keempat untuk lansia.

Memang merujuk pada data vaksinasi Covid-19 di Tanah Air, hingga 26 Desember 2022 sebenarnya data masyarakat yang sudah divaksinasi dosis pertama dan kedua belum mencapai target 100 persen. Angkanya ada di kisaran 86 persen dosis pertama dan 74 persen dosis kedua. Sedangkan untuk vaksinasi dosis ketiga sebesar 29 persen dari sasaran target vaksinasi Covid-19.

Tapi meski belum 100 persen, kasus baru Covid-19 di masa akhir tahun ini justru tergolong rendah. Bila melihat data kasus konfirmasi Covid-19 di awal Desember yang masih ribuan hingga 25 Desember yaitu hanya sebesar 538. Dan, kalau saya tidak salah di 26 Desember angkanya kembali turun di kisaran 400 kasus.

Lantas, di saat publik sudah jenuh dengan segala pembatasan di masa pandemi rasanya tepat ya untuk mendorong pemerintah menghapuskan PPKM.

Toh, ada atau tidaknya PPKM saat ini sudah tidak terasa juga. Kecuali mungkin bagi mereka yang menggunakan jasa kereta api dan pesawat yang mengharuskan vaksinasi hingga dosis ketiga bagi penumpangnya.

Masalahnya di saat Indonesia menghadapi situasi yang melandai dan kondusif, hal yang sama tidak berlaku di luar negeri. Sepekan terakhir misalnya Jepang melaporkan 1,1 juta kasus baru Covid-19 dalam sepekan terakhir. Artinya tiap hari rata-rata ada tambahan 157 ribu kasus baru Covid-19.

Apa yang terjadi di Jepang? Mengapa di Indonesia kasusnya bisa rendah dan Jepang sebaliknya. Ada sejumlah penyebab, mulai dari pelonggaran aturan yang membuat Jepang kembali dibanjiri turis asing, hingga faktor musim dingin yang selalu jadi momok bagi penyakit Covid-19.

Saya bukan ahlinya. Saya hanya rajin membaca dan mengedit berita Covid-19 sejak Desember 2019, saat penyakit paru-paru akut baru merebak di China saja.

Di tahun-tahun berikutnya musim dingin, terutama di negara bersalju, menjadi momok karena udara ekstra dingin membuat sirkulasi udara terhambat. Padahal perputaran udara menjadi salah satu kunci dalam menghindari penyebaran Covid-19.

Dikutip dari Japan Times, November lalu Pulau Hokkaido mengalami lonjakan kasus yang tergolong sangat tinggi bagi Jepang. Yaitu 850 kasus per 100 ribu orang. Musim dingin di sana membuat warganya tidak bisa membuka jendela rumah hingga virus Covid-19 sulit teralirkan keluar.

Selain Jepang, China juga sedang mengalami lonjakan kasus. Bahkan sepanjang Desember tahun ini jumlah kasus Covid-19 di sana diprediksi mencapai 250 juta kasus.

Kebijakan nol Covid-19 selama hampir tiga tahun terakhir ternyata tidak cukup untuk meredam kasus. Media-media Barat seperti Guardian menuding salah satu penyebabnya adalah karena keengganan China menerima vaksin Barat yang berbasis mRNA. Menurut media Barat, vaksin tersebut memiliki tingkat efektivitas lebih baik dalam mencegah keparahan penyakit akibat Covid-19.

China dipandang Barat kekeuh mengembangkan vaksinnya sendiri yang menghabiskan banyak uang. Akibatnya, ketika banyak negara sudah divaksinasi sesuai target di 2021 dan sudah memberikan dosis ketiga di 2022, China masih mengejar upaya vaksinasi warganya. Sebagai negara maju, jumlah populasi yang telah menerima vaksinasi dosis ketiga hanya 50 persen saja. China juga dinilai tidak berupaya mendorong vaksinasi bagi lansia dan kelompok rentan.

Dikutip dari ABC News, Dr Shan-Lu Liu, peneliti virus di Ohio State University, mengatakan banyak subvarian Omicron ditemukan di China. Termasuk BF.7 yang tergolong cerdas hingga bisa mengelabui imunitas dan diduga keras sebagai pemicu kenaikan kasus di China.

Antibodi masyarakat China yang terbatas juga disebut memicu kenaikan kasus. Di China, berkat kebijakan nol covid sebagian besar masyarakat China belum pernah terpapar virus corona. Sementara, vaksin China mengandalkan teknologi ‘lama’ yang menghasilkan antibody lebih rendah dibandingkan vaksin Barat yang berbasis mRNA.

Kembali ke Indonesia, lalu bagaimana dengan negara ini ke depan? Apakah faktor tingginya kasus di negara-negara lain membuat Indonesia masih harus mengencangkan pembatasan lewat PPKM?

Presiden Joko Widodo mengatakan, masih akan menunggu hasil kajian Kementerian Kesehatan. Katanya, PPKM nasibnya akan melihat dari hasil sero survei atau survei tentang antibodi masyarakat.

Katanya, jika hasil sero survei menunjukkan antibodi mayoritas publik sudah di atas 90 persen, maka kenaikan kasus di negara lain tidak menjadi problem. Pasalnya imunitas masyarakat sudah di level baik dan sanggup menghadapi gempuran Covid-19.

Meski saya orang awam, namun saya meyakini kasus Covid-19 ini sudah bisa ditaklukkan di Tanah Air. Mayoritas penderita Covid-19 sudah bergejala ringan, bahkan tak bergejala. Artinya, virusnya sudah melemah. Semoga, ya…

*penulis adalah jurnalis Republika

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement