REPUBLIKA.CO.ID, TEL AVIV -- Israel cabut izin perjalanan Menteri Luar Negeri Palestina Riad Malki pada Ahad (8/1/2023). Tindakan itu merupakan bagian dari serangkaian langkah hukuman yang lebih keras terhadap warga Palestina, yang diumumkan pemerintah baru Israel beberapa hari lalu.
Malki mengatakan, dalam sebuah pernyataan, usai dirinya kembali dari pelantikan Presiden Brasil Lula da Silva, dia diberi tahu bahwa Israel mencabut izin perjalanannya. Tindakan ini memungkinkan pejabat tinggi Palestina itu tidak bisa bepergian dengan mudah untuk masuk dan keluar dari wilayah pendudukan Tepi Barat, tidak seperti warga Palestina pada umumnya. Tidak jelas apakah izin pejabat lain juga dicabut.
Perdana Menteri Benjamin Netanyahu mengatakan, dalam rapat Kabinet pada Ahad, tindakan terhadap Palestina ditujukan sebagai langkah "anti-Israel ekstrem". Kementerian Pertahanan Israel PBB mengonfirmasi bahwa izin Malki telah dicabut.
Orang-orang Palestina mengutuk pencabutan izin Malki. Mereka mengatakan bahwa Israel harus dihukum karena pelanggarannya terhadap hukum internasional.
Pemerintah Israel dua hari sebelumnya telah menyetujui langkah-langkah untuk menghukum warga Palestina. Tindakan itu sebagai pembalasan karena mereka mendorong Mahkamah Internasional untuk memberikan pendapatnya tentang pendudukan Israel. Putusan badan badan peradilan tertinggi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tidak mengikat, tetapi dapat memengaruhi pandangan dunia.
Kabinet Keamanan menargetkan para pejabat Palestina secara langsung, dengan mengatakan hal itu akan menolak keuntungan bagi sosok khusus yang memimpin perang politik dan hukum melawan Israel. Sementara itu, Menteri Pertahanan Israel Yoav Gallant mengatakan, melucuti tiga pejabat senior Palestina dari hak istimewa VIP yang memungkinkan mereka memasuki Israel.
Langkah itu dilakukan setelah mereka mengunjungi seorang warga Arab Israel Karim Younis yang dibebaskan dari penjara pekan lalu. Dia sebelumnya menjalani hukuman 40 tahun atas pembunuhan seorang tentara Israel.
Keputusan tersebut menyoroti garis keras yang telah diambil pemerintah saat ini terhadap Palestina hanya beberapa hari setelah masa jabatan Benjamin Netanyahu dimulai. Keputusan itu terjadi pada saat kekerasan melonjak di Tepi Barat dan pembicaraan damai tinggal kenangan.
Polisi Israel mengatakan, di Yerusalem timur yang menjadi titik nyala ketegangan Israel-Palestina, bahwa mereka membubarkan pertemuan orang tua Palestina yang membahas tentang pendidikan anak-anak. Petugas mengeklaim bahwa itu didanai secara tidak sah oleh Otoritas Palestina (PA). Polisi mengatakan, operasi itu dilakukan atas perintah Menteri Keamanan Nasional Itamar Ben-Gvir.
Operasi polisi terjadi beberapa hari setelah Ben-Gvir menjabat. Polisi mengatakan, mencegah pertemuan itu berlangsung dan menolak untuk memberikan bukti, yang mendukung klaim bahwa itu berhubungan dengan PA dan juru bicara Ben-Gvir mengajukan pertanyaan kepada polisi.
Kepala Persatuan Komite Orang Tua Siswa di Yerusalem yang mengadakan pertemuan tersebut Ziad Shamali membantah adanya keterlibatan PA. Dia mengatakan, pertemuan itu diadakan untuk membahas kekurangan guru di sekolah-sekolah Yerusalem timur. Dia memandang klaim hubungan PA sebagai dalih politik untuk melarang pertemuan itu.
PA dibentuk untuk mengelola Gaza dan sebagian Tepi Barat. Israel menentang bisnis resmi apa pun yang dilakukan oleh PA di Yerusalem timur, dan polisi pada masa lalu telah membubarkan acara yang mereka duga terkait dengan PA.
Israel merebut Yerusalem timur dalam perang Timur Tengah 1967 dan kemudian mencaploknya, sebuah langkah yang tidak diakui oleh sebagian besar masyarakat internasional dan PBB. Israel menganggap kota itu sebagai ibu kota abadi yang tak terbagi, sedangkan orang-orang Palestina mencari sektor timur kota sebagai ibu kota negara yang diharapkan pada masa depan.
Sekitar sepertiga dari populasi kota adalah orang Palestina dan mereka telah lama menghadapi pengabaian dan pendiskriminasian di tangan otoritas Israel. Tindakan ini termasuk pendidikan, perumahan, dan pelayanan publik.