REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Diplomat asal Kamboja, Kao Kim Hourn, resmi menjabat sebagai Sekretaris Jenderal Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN) yang ke-15. Ia akan meneruskan tugas yang sebelumnya diemban oleh Lim Jock Hoi.
Pada Senin (9/1/2023), telah digelar upacara penyerahan jabatan antara keduanya. Penyerahan jabatan disaksikan oleh Menteri Luar Negeri RI, Retno Marsudi, di Sekretariat ASEAN di Jakarta.
Dalam pidato sambutannya, Kao Kim Hourn menyoroti sejumlah hal terkait langkah ASEAN ke depan, salah satunya yakni meningkatkan perhatian dan antisipasi terhadap kawasan Asia Tenggara yang rentan akan bencana alam.
"Kita harus berupaya lebih keras untuk mencapai pembangunan berkelanjutan dan mengakselerasi upaya kolektif kita untuk bertransisi menuju ekonomi netral-karbon. Di sisi lain, kita juga harus mempersiapkan diri akan adanya potensi bencana alam," ujarnya.
Dia juga menyebut pentingnya perhatian terhadap pengembangan ekonomi digital ASEAN untuk membuka ruang baru bagi 440 juta pengguna internet di ASEAN terutama untuk berbagai potensi investasi dan perdagangan, penciptaan lapangan kerja, dan mendorong inovasi dan produktivitas. Meski demikian, ancaman keamanan siber yang berkembang serta tantangan terkait teknologi lainnya juga harus menjadi perhatian, lanjutnya.
Menurut keterangan yang dikutip dari laman resmi ASEAN, Hourn telah memberikan kontribusi untuk penguatan hubungan Kamboja dengan ASEAN sepanjang karirnya.
Ia sempat menjabat sebagai salah satu delegasi menteri yang bernaung di bawah perdana menteri Kamboja selama dua periode mulai dari tahun 2013. Hourn pun telah menulis puluhan buku serta artikel terkait hubungan Kamboja dan ASEAN.
Untuk itu, Hourn telah menerima berbagai penghargaan untuk kontribusinya, termasuk penghargaanRoyal Order of Cambodia, Royal Order of Sowathara, dan Grand Order of National Merit.
Pria itu merupakan penyintas genosida Khmer Rouge yang kemudian pindah dan tinggal di Amerika Serikat pada usia 15 tahun. Pada 1993, Hourn kembali ke tanah airnya dan memimpin sebuah lembaga pemikir (think tank) yang fokus pada urusan ASEAN dan hubungan internasional.
Ia kemudian bekerja di pemerintahan Kamboja dalam berbagai kapasitas dari 2001 hingga 2013, termasuk sebagai Menteri Luar Negeri Kamboja.