REPUBLIKA.CO.ID, TEL AVIV -- Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu membela usulan perombakan peradilan. Dia juga mengindikasikan perubahan dapat dilakukan untuk Rancangan Undang-Undang (RUU) yang menurut para kritikus akan merusak demokrasi dan kemandirian pengadilan.
Politikus berusia 73 tahun kembali berkuasa sebagai kepala pemerintahan agama nasionalis pada Desember. Salah satu langkah pertamanya adalah RUU yang jika disetujui menjadi Undang-Undang (UU) akan membatasi putusan Pengadilan Tinggi terhadap langkah pemerintah atau UU parlemen Knesset. Aturan itu juga sekaligus meningkatkan pengaruh politisi atas pemilihan hakim.
Dalam tanggapan video terhadap kritik keras dari Presiden Mahkamah Agung Esther Hayut, Netanyahu mengatakan, RUU itu dapat diubah tetapi para kritikus melebih-lebihkan perubahan yang diusulkan. "Ketika seseorang mengatakan koreksi kecil akan menghancurkan demokrasi, itu bukan hanya argumen yang salah, itu juga salah satu yang tidak memungkinkan pemahaman apa pun yang harus dicapai dalam diskusi substantif di Knesset Israel," katanya.
"Koreksi (terhadap sistem hukum) harus dilakukan secara bertanggung jawab dan dengan pertimbangan yang cermat sambil mendengar semua posisi dan itulah proses yang sekarang akan berlangsung di legislatif," ujarnya pada Jumat (13/1/2023).
Hayut mengatakan sehari sebelumnya, jika diterapkan seperti yang digariskan oleh Menteri Kehakiman Yariv Levin, reformasi tersebut akan membahayakan independensi peradilan. "Jika rencana itu terwujud, peringatan 75 tahun (Israel) akan dikenang sebagai tahun integritas demokrasi negara itu mengalami pukulan mematikan," katanya.
Para pendukung RUU tersebut telah lama menuduh Mahkamah Agung melakukan tindakan berlebihan dan elitisme. Mereka mengatakan perubahan akan mengembalikan keseimbangan antara yudikatif, eksekutif dan legislatif.
Komite konstitusional Knesset telah mulai membahas RUU tersebut. Kritikus mengatakan, itu berisiko mendorong korupsi, merugikan hak-hak minoritas, membahayakan Israel dalam penyelidikan hukum di luar negeri, dan menghalangi investor. Beberapa protes telah terjadi selama seminggu terakhir, dengan demonstrasi lebih lanjut direncanakan pada Sabtu (14/1/2023).