REPUBLIKA.CO.ID, DAVOS -- Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Antonio Guterres menuding perusahaan-perusahaan minyak besar melakukan "kebohongan besar" terkait perubahan iklim. Pernyataan tersebut disampaikan Guterres ketika menyampaikan pidato di Forum Ekonomi Dunia (WEF) di Davos, Swiss, Rabu (18/1/2023).
"Hari ini, produsen bahan bakar fosil dan pendukung mereka masih berlomba untuk memperluas produksi, (meskipun) mengetahui sepenuhnya bahwa model bisnis mereka bertentangan dengan kelangsungan hidup manusia," kata Guterres.
Menyerukan agar mereka yang bertanggung jawab atas hal ini dimintai pertanggungjawaban, Guterres mengatakan dunia sedang "bermain-main dengan bencana iklim," dengan emisi gas mencapai rekor tertinggi.
Dia memperingatkan akan ancaman bencana iklim karena komitmen dalam Perjanjian Paris 2016 untuk membatasi kenaikan suhu global menjadi 1,5 derajat Celcius "tampaknya sia-sia" ketika dunia menuju kenaikan suhu bumi sebesar 2,8 derajat Celcius.
"Konsekuensinya akan sangat menghancurkan. Beberapa bagian planet kita tidak dapat dihuni. Dan bagi banyak orang, ini adalah hukuman mati," tutur Guterres.
Menurut Guterres, sejak tahun 1970-an, para produsen bahan bakar fosil tertentu sudah sepenuhnya sadar bahwa produk utama mereka sedang memanggang planet bumi.
"Sama seperti industri tembakau, mereka mengabaikan sains mereka sendiri. Big Oil menjajakan kebohongan besar... dan seperti industri tembakau, mereka yang bertanggung jawab (atas perubahan iklim) harus dimintai pertanggungjawaban," kata Guterres, merujuk pada perusahaan-perusahaan minyak besar.
Keruntuhan Ekosistem
Lebih lanjut, Guterres menyebut kehancuran ekosistem sebagai fakta ilmiah yang benar dan sulit. Menurut dia, kehancuran ekosistem akan memicu konflik, kekerasan, dan perang.
"Terutama invasi Rusia ke Ukraina, bukan hanya karena penderitaan rakyat Ukraina yang tak terhitung tetapi karena implikasi globalnya yang mendalam," kata Sekjen PBB itu.
Invasi yang berdampak pada harga pangan dan energi global, perdagangan, dan rantai pasokan itu juga menimbulkan pertanyaan tentang keamanan nuklir serta dasar hukum internasional dan Piagam PBB.
Untuk itu, Guterres menilai tema WEF tahun ini yakni "Kerja Sama di Dunia yang Terpecah-belah" sangat sempurna untuk masalah global saat ini.
"Kami membutuhkan kerja sama, tetapi kita menghadapi perpecahan," kata dia.
Di antara isu global yang ia soroti adalah ketidaksetaraan yang semakin dalam dan krisis biaya hidup yang berkembang pesat yang paling memengaruhi perempuan dan anak perempuan, bersamaan dengan gangguan rantai pasokan, krisis energi, dan melonjaknya harga.
Menyinggung risiko krisis ekonomi global yang sedang berlangsung dengan banyak bagian dunia menghadapi resesi, Sekjen PBB itu mengatakan prospeknya "suram."
"Seluruh dunia menghadapi perlambatan. Kita melihat ketidaksetaraan yang semakin dalam dan krisis biaya hidup yang berlangsung cepat... Naiknya suku bunga seiring dengan inflasi dan tingkat utang yang melanda negara-negara yang rentan," kata dia.
Guterres menggarisbawahi bahwa Covid-19 masih membebani ekonomi bahkan di tengah "kegagalan dunia untuk mempersiapkan pandemi di masa depan."
"Entah bagaimana, setelah semua yang telah kita alami, kita belum belajar mengenai pelajaran kesehatan masyarakat global dari pandemi. Kita belum siap menghadapi pandemi yang akan datang," kata Guterres.