REPUBLIKA.CO.ID, YERUSALEM -- Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu bertemu dengan Penasihat Keamanan Nasional AS Jake Sullivan, pada Kamis (19/1/2023) waktu setempat. Kunjungan Sullivan dilakukan di tengah kegelisahan di Washington atas kebijakan Netanyahu dan atas beberapa anggota koalisi pemerintahan ultranasionalis dan ultra-Ortodoks yang telah mengambil sikap keras terhadap Palestina.
Kantor Netanyahu mengatakan, keduanya membahas program nuklir Iran dan cara untuk memperluas perjanjian normalisasi yang dicapai di bawah pemerintahan mantan presiden Donald Trump dengan empat negara Arab yaitu Uni Emirat Arab (UEA), Bahrain, Maroko, dan Sudan. Keempat negara Arab ini menormalisasi hubungan dengan Israel pada 2020 di bawah Kesepakatan Abraham atau Abraham Accords yang diinisiasi oleh pemerintahan Trump.
"Saya telah mengenal Presiden (Joe) Biden selama 40 tahun sebagai teman baik Israel. Kami melihat Anda sebagai mitra tepercaya dalam hal memastikan keamanan dan, tentu saja, memajukan perdamaian," kata Netanyahu kepada Sullivan.
Sementara itu, Sullivan mengatakan kepada Netanyahu bahwa komitmen Biden terhadap Israel sangat dalam. "Ini adalah sebuah komitmen yang berakar pada sejarah bersama, kepentingan bersama, dan nilai bersama," ujarnya.
Pemerintah baru Israel telah membuat pemerintahan Biden khawatir. Sejak awal menjabat, pemerintahan Netanyahu telah mengambil langkah kontroversial, yaitu kunjungan Menteri Keamanan Nasional Itamar Ben-Gvir ke Kompleks Masjid Al-Aqsha, dan mengambil langkah-langkah agresif melawan Otoritas Palestina yang bertentangan dengan upaya Biden untuk meningkatkan hubungan AS-Palestina.
Netanyahu mengatakan kepada Sullivan bahwa langkah-langkah tersebut merupakan tanggapan yang diperlukan kepada Palestina yang mendorong badan peradilan tertinggi PBB untuk memberikan pendapatnya tentang pendudukan Israel. Pada Kamis malam, Sullivan juga bertemu dengan Presiden Palestina Mahmoud Abbas. Dalam pertemuan itu, Abbas mengimbau pemerintahan Biden untuk menghentikan pemerintah Israel melanjutkan langkah-langkah eskalasi terhadap Palestina.
"Kebijakan baru koalisi Israel menghancurkan peluang yang tersisa untuk mencapai perdamaian dan stabilitas di kawasan itu,” kata Abbas kepada Sullivan.
Abbas menekankan kepada Sullivan pentingnya tekanan AS terhadap Israel untuk menghentikan pembangunan permukiman, termasuk pembunuhan dan serangan pasukan Israel ke kota-kota Palestina. Pasukan Israel telah meningkatkan serangan terhadap warga Palestina di wilayah pendudukan Tepi Barat.
Abbas juga meminta Sullivan untuk mencabut langkah hukuman era pemerintahan Trump terhadap Palestina, dengan memulihkan Konsulat AS di Yerusalem, dan membuka kembali kantor Organisasi Pembebasan Palestina di Washington. Selama pembicaraannya dengan para pemimpin Israel dan Palestina, Sullivan menggarisbawahi urgensi untuk menghindari langkah-langkah sepihak yang dapat mengobarkan ketegangan di lapangan.
Pemerintah sayap kanan Netanyahu dan potensi eskalasi konflik antara Palestina dan Israel merupakan komplikasi yang tidak diinginkan bagi tim keamanan nasional Biden. Pemerintahan Biden berusaha mengalihkan perhatian dari Timur Tengah ke China dan Rusia.
Pejabat AS sebelumnya telah menyatakan keprihatinan tentang dua menteri senior Kabinet sayap kanan Israel yaitu Ben-Gvir dan Bezalel Smotrich, yang telah menyatakan pandangan anti-Palestina yang keras di masa lalu. Kendati demikian, Washington mengatakan akan terlibat dengan pemerintah Netanyahu berdasarkan kebijakannya dan bukan pada kepribadiannya.
Ben-Gvir, merupakan seorang anggota parlemen yang terkenal dengan aksi provokatif dan anti-Arab. Saat ini dia menjabat sebagai menteri keamanan nasional, yang membawahi kepolisian Israel. Sementara Smotrich memiliki pandangan anti-Palestina dan anti-gay. Dia mengawasi badan pertahanan Israel yang bertanggung jawab atas urusan sipil Palestina.