REPUBLIKA.CO.ID, TEHERAN – Amerika Serikat (AS) akan meningkatkan tekanan terhadap China agar berhenti mengimpor minyak Iran. Washington berusaha menegakkan sanksinya atas Teheran terkait aktivitas nuklir mereka.
“China adalah tujuan utama ekspor gelap Iran dan pembicaraan untuk menghalau Beijing dari pembelian itu akan diintensifkan,” kata Utusan Khusus AS untuk Iran Robert Malley dalam sebuah wawancara dengan Bloomberg Television, Senin (23/1/2023).
Terlepas dari sanksi AS, pengiriman minyak mentah Iran dilaporkan melonjak dalam beberapa bulan terakhir. Sebagian besar minyak itu tampaknya dikirim ke China. Malley menegaskan, AS tidak akan membiarkan hal tersebut terus berlangsung.
“AS akan mengambil langkah-langkah yang diperlukan guna menghentikan ekspor minyak Iran dan mencegah negara-negara membelinya. Kami tidak mengurangi sanksi kami terhadap Iran, dan khususnya terkait penjualan minyak Iran,” kata Malley.
Saat ini upaya menghidupkan kembali kesepakatan nuklir Iran 2015 atau dikenal dengan Joint Comprehensive Plan of Action (JCPOA) belum menemui titik terang.
JCPOA berada di ujung tanduk setelah mantan presiden Donald Trump menarik AS dari kesepakatan tersebut pada November 2018. Alasannya, JCPOA tak mengatur tentang program rudal balistik Iran dan peranan Iran di kawasan.
Washington pun memberlakukan kembali sanksi ekonomi terhadap Teheran. Setelah dikenai sanksi lagi, Iran mulai mengabaikan ketentuan-ketentuan yang tercantum dalam JCPOA, termasuk soal pengayaan uranium.
Pada November 2022, Badan Energi Atom Internasional (IAEA) mengatakan, Iran telah melakukan pengayaan uranium hingga 60 persen. IAEA pun menyebut, Teheran sedang merencanakan perluasan besar-besaran kapasitas pengayaannya.
Iran telah mulai memproduksi uranium yang diperkaya dengan kemurnian 60 persen di pembangkit nuklir bawah tanah Fordo. Kabar tersebut telah dikonfirmasi kantor berita pemerintah Iran, ISNA. Fasilitas Fordo dibuka kembali pada 2019 setelah JCPOA gagal diperbarui.
Pengayaan uranium hingga kemurnian 60 persen merupakan langkah teknis singkat dari tingkat senjata, yakni sebesar 90 persen.
Dalam beberapa bulan terakhir, sejumlah pakar nonproliferasi memperingatkan, Iran memiliki cukup uranium yang diperkaya 60 persen untuk diproses ulang menjadi bahan bakar untuk setidaknya satu bom nuklir. Iran berulang kali membantah memiliki ambisi untuk membuat bom atau senjata nuklir.