REPUBLIKA.CO.ID., NEW YORK -- Pejabat tinggi PBB pada Senin (23/1/2023) mengunjungi Afghanistan untuk menyampaikan pesan kepada Taliban, otoritas de facto negara itu, tentang perlunya membalikkan kebijakan yang melarang perempuan dari kehidupan publik.
Wakil Sekretaris Jenderal untuk Urusan Kemanusiaan Martin Griffiths ditemani Kepala Save the Children AS Janti Soeripto, Sekretaris Jenderal Care International Sofia Sprechmann Sineiro, dan Wakil Direktur Eksekutif UNICEF Omar Abdi melakukan kunjungan ke negara itu setelah Taliban melarang perempuan Afghanistan bekerja di LSM nasional dan internasional.
Larangan baru-baru ini menunda beberapa program, menimbulkan kekhawatiran bahwa situasi kemanusiaan yang sudah mengerikan di Afghanistan akan menjadi lebih buruk, kata juru bicara PBB Stephane Dujarric.
Sekitar 28 juta orang membutuhkan bantuan kemanusiaan di Afghanistan, meningkat 350 persen hanya dalam lima tahun, menurut PBB.
Deputi Sekretaris Jenderal PBB Amina Mohammed, Direktur Eksekutif UN Women Sima Bahous dan Khaled Khiari, asisten Sekretaris Jenderal bidang Departemen Politik, Urusan Pembangunan Perdamaian dan Operasi Perdamaian juga berkunjung ke Afghanistan pekan lalu untuk berbincang dengan Taliban.
Rezim Taliban baru-baru ini menutup universitas untuk mahasiswa perempuan di seluruh negeri sampai pemberitahuan lebih lanjut dan telah melarang anak perempuan untuk masuk sekolah menengah, membatasi kebebasan bergerak wanita dan anak perempuan, mengecualikan perempuan dari sebagian besar wilayah kerja dan melarang perempuan menggunakan pusat kebugaran dan pemandian umum.
Kembalinya Taliban berkuasa di Afghanistan pada 15 Agustus 2021 diikuti dengan terhambatnya bantuan keuangan internasional yang menyeret negara itu ke dalam krisis ekonomi, kemanusiaan, dan hak asasi manusia.
Wanita dan anak perempuan telah dirampas hak mereka, termasuk hak pendidikan, dan partisipasi mereka dalam kehidupan publik di bawah otoritas Taliban. Ribuan perempuan sejak keputusan itu kehilangan pekerjaan atau dipaksa mengundurkan diri dari lembaga pemerintah dan sektor swasta.
Anak perempuan dilarang bersekolah di SMP dan SMA. Banyak perempuan menuntut agar hak mereka dipulihkan dengan menggelar aksi demonstrasi.