Selasa 31 Jan 2023 19:28 WIB

PBB Minta Taliban Perluas Pengecualian untuk Perempuan Bekerja

Permintaan ini disampaikan langsung ke otoritas de facto Afghanistan.

Rep: Dwina Agustin/ Red: Nidia Zuraya
 Pelajar perempuan Afghanistan meninggalkan Kabul University di Kabul, Afghanistan, 21 Desember 2022. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan beberapa lembaga kemanusiaan internasional meminta Taliban untuk memperluas pengecualian bagi perempuan dalam bekerja di sektor kemanusiaan, kesehatan, dan pendidikan.
Foto: EPA-EFE/STRINGER
Pelajar perempuan Afghanistan meninggalkan Kabul University di Kabul, Afghanistan, 21 Desember 2022. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan beberapa lembaga kemanusiaan internasional meminta Taliban untuk memperluas pengecualian bagi perempuan dalam bekerja di sektor kemanusiaan, kesehatan, dan pendidikan.

REPUBLIKA.CO.ID, NEW YORK -- Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan beberapa lembaga kemanusiaan internasional meminta Taliban untuk memperluas pengecualian bagi perempuan dalam bekerja di sektor kemanusiaan, kesehatan, dan pendidikan. Permintaan ini disampaikan langsung ke otoritas de facto Afghanistan selama kunjungan ke ibukota Kabul.

Kepala kemanusiaan PBB Martin Griffiths melakukan perjalanan ke Kabul pekan lalu untuk meyakinkan Taliban agar mencabut larangan pekerja bantuan perempuan. Perjalanan ini juga bersama dengan Presiden Save the Children Amerika Serikat (AS) Janti Soeripto, Sekretaris Jenderal Care International Sofia Sprechmann Sineiro, dan Wakil Direktur Eksekutif untuk program di United Nations Children's Fund (UNICEF) Omar Abdi.

Baca Juga

"Selain memperjelas keprihatinan kami tentang dekrit itu sendiri, kami kemudian juga berkata, oke, jika Anda tidak membatalkan dekrit itu sekarang, maka kami harus memperluas pengecualian ini untuk mencakup semua aspek aksi kemanusiaan. Dan itulah agenda yang kami temui dengan semua pemimpin //de facto// Taliban itu," kata Griffiths kepada wartawan di markas besar PBB setelah kunjungan itu.

Taliban melarang perempuan Afghanistan bekerja di organisasi non-pemerintah nasional dan internasional. Larangan baru-baru ini menunda beberapa program, menimbulkan kekhawatiran bahwa situasi kemanusiaan yang sudah mengerikan di Afghanistan akan menjadi lebih buruk. Menurut perhitungan PBB, sekitar 28 juta orang membutuhkan bantuan kemanusiaan di Afghanistan, meningkat 350 persen hanya dalam lima tahun.

"Kami menyatakan penentangan kami terhadap larangan tersebut, berharap agar larangan tersebut dicabut, dan sementara itu meminta agar sektor lebih lanjut diberikan pengecualian atau otorisasi ini untuk peran dan fungsi perempuan," ujar Griffiths.

Griffiths mengatakan, Taliban meminta delegasi untuk bersabar dan pedoman sedang dikembangkan oleh otoritas Taliban. "Mari kita lihat apakah pedoman ini benar-benar terwujud. Mari kita lihat apakah mereka bermanfaat. Mari kita lihat ruang apa yang tersedia untuk peran penting dan sentral perempuan dalam operasi kemanusiaan kita. Setiap orang memiliki pendapat apakah itu akan berhasil atau tidak," ujarnya.

Menurut Griffiths, pandangan PBB dan lembaga lainnya adalah pesan jelas yang menyatakan perempuan adalah pekerja utama dan esensial di sektor kemanusiaan. Perempuan memiliki hak dan perlu kembali bekerja.

"Dan dalam hal itu, kita perlu mempertahankan operasi kemanusiaan di sektor yang sudah ada, kesehatan dan pendidikan, tetapi memperluasnya ke yang lain," ujar Griffiths.

Taliban baru-baru ini menutup universitas untuk mahasiswa perempuan di seluruh negeri sampai pemberitahuan lebih lanjut. Kelompok itu telah melarang anak perempuan untuk menghadiri sekolah menengah, membatasi kebebasan bergerak perempuan dan anak perempuan, mengecualikan dari sebagian besar wilayah angkatan kerja, serta melarang mengunjungi taman, pusat kebugaran, dan pemandian umum.

Perempuan dan anak perempuan telah dirampas haknya, termasuk hak atas pendidikan, dan hilang dari kehidupan publik di bawah Taliban. Sejak perebutan kekuasan pada 15 Agustus 2021, ribuan perempuan kehilangan pekerjaan atau dipaksa mengundurkan diri dari lembaga pemerintah dan sektor swasta.

Banyak perempuan menuntut agar hak mereka dipulihkan dengan turun ke jalan, memprotes dan mengorganisir gerakan. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement