Jumat 03 Feb 2023 14:25 WIB

Presiden Nikaragua Sebut Iran dan Korut Berhak Miliki Senjata Nuklir

Presiden Nikaragua menginginkan agar semua senjata nuklir dilenyapkan.

Rep: Kamran Dikarma/ Red: Nidia Zuraya
Sebuah foto yang mengilustrasikan peluncuran misil militer Iran di kota Bushehr, pada akhir Desember 2016. Pemerintah AS baru saja menjatuhkan sanksi kepada Iran atas dugaan kepemilikan misil yang bisa membawa senjata nuklir.
Foto: Amir Kholousi, ISNA via AP
Sebuah foto yang mengilustrasikan peluncuran misil militer Iran di kota Bushehr, pada akhir Desember 2016. Pemerintah AS baru saja menjatuhkan sanksi kepada Iran atas dugaan kepemilikan misil yang bisa membawa senjata nuklir.

REPUBLIKA.CO.ID, MANAGUA – Presiden Nikaragua Daniel Ortega membela Iran dan Korea Utara (Korut) untuk mengembangkan serta memiliki senjata nuklir. Dia pun mempertanyakan kewenangan Barat untuk melarang kedua negara tersebut memiliki senjata nuklir.

“Kami tak suka bom atom, tapi kewenangan apa (yang dimiliki kekuatan Barat) untuk melarang Iran jika ia ingin membuat bom atom?” ujar Ortega dalam konferensi pers bersama Menteri Luar Negeri Iran Hossein Amir-Abdollahian, Kamis (2/2/2023).

Baca Juga

Ortega mengatakan, Korut memiliki hak serupa untuk mengembangkan dan memiliki senjata nuklir, terlepas dari pandangan Amerika Serikat (AS) serta sekutunya. “(Kekuatan Barat) tak memiliki hak untuk mendikte siapa yang punya dan tidak punya bom atom,” ucapnya.

Ortega mengungkapkan, secara pribadi, dia menginginkan agar semua senjata nuklir dilenyapkan. “Dimulai dengan milik Yankees,” katanya merujuk pada AS.

Hossein Amir-Abdollahian menyampaikan terima kasih kepada Ortega atas pernyataannya. Dia pun meyakinkan bahwa program nuklir Iran hanya untuk tujuan damai. Hal itu menentang klaim Barat yang menuding bahwa Teheran hendak mengembangkan senjata nuklir.

Saat ini upaya untuk menghidupkan kembali kesepakatan nuklir Iran 2015 atau dikenal dengan istilah Joint Comprehensive Plan of Action (JCPOA) belum menemui titik terang. JCPOA berada di ujung tanduk setelah mantan presiden Donald Trump menarik AS dari kesepakatan tersebut. Alasannya karena JCPOA tak mengatur tentang program rudal balistik Iran dan peran atau pengaruh Iran di kawasan.

Washington pun memberlakukan kembali sanksi ekonomi terhadap Teheran.  Setelah dikenai sanksi lagi, Iran mulai mengabaikan ketentuan-ketentuan yang tercantum dalam JCPOA, termasuk soal pengayaan uranium. Pada November 2022 lalu, Badan Energi Atom Internasional (IAEA) mengatakan bahwa Iran telah melakukan pengayaan uranium hingga 60 persen.  IAEA pun menyebut, Teheran sedang merencanakan perluasan besar-besaran kapasitas pengayaannya.

Iran telah mulai memproduksi uranium yang diperkaya dengan kemurnian 60 persen di pembangkit nuklir bawah tanah Fordo. Kabar tersebut telah dikonfirmasi kantor berita pemerintah Iran, ISNA. Fasilitas Fordo dibuka kembali pada 2019 setelah JCPOA gagal diperbarui. Iran sebelumnya sudah melakukan pengayaan uranium dengan kemurnian hingga 60 persen di fasilitas nuklir Natanz di Iran tengah. Sementara fasilitas Fordo hanya berjarak 100 kilometer dari ibu kota Teheran. 

Pengayaan uranium hingga kemurnian 60 persen merupakan langkah teknis singkat dari tingkat senjata, yakni sebesar 90 persen. Sejumlah pakar nonproliferasi telah memperingatkan dalam beberapa bulan terakhir bahwa Iran memiliki cukup uranium yang diperkaya 60 persen untuk diproses ulang menjadi bahan bakar untuk setidaknya satu bom nuklir. Iran telah berulang kali membantah anggapan bahwa mereka memiliki ambisi untuk membuat bom atau senjata nuklir. 

Saat ini AS di bawah kepemimpinan Joe Biden berusaha menghidupkan kembali JCPOA. Namun proses negosiasi belum menemui pintu kesepakatan.

sumber : Reuters/AP
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement