REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Dewi Fortuna Anwar menilai ada ekspektasi tinggi dari komunitas internasional atas peran Indonesia yang kini menjabat ketua Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN).
Pasalnya, peran Indonesia dalam ASEAN selama ini, baik sebagai ketua maupun anggota, selalu diiringi inovasi yang mengukuhkan posisi ASEAN sebagai organisasi regional. Contohnya, Treaty of Amity and Cooperation yang didasari oleh Bali Concord I, yang disahkan di Indonesia pada 1976.
Inisiatif untuk membentuk Komunitas ASEAN yang bersandar pada Bali Concord II juga disahkan ketika Indonesia menjadi ketua ASEAN pada 2003. Sedangkan sebagai anggota, Indonesia kerap mempromosikan berbagai prakarsa yang signifikan terhadap evolusi organisasi, seperti Piagam ASEAN dan Pandangan ASEAN terhadap Indo-Pasifik (AOIP).
"Tantangan Indonesia, adanya ekspektasi tinggi atas kepemimpinan Indonesia di ASEAN. Pertama, karena rekam jejak Indonesia yang selalu menciptakan milestone penting ketika menjadi ketua ASEAN," kata Dewi dalam sebuah seminar di Jakarta, Rabu (8/2/2023).
"Lalu kepiawaian diplomasi Indonesia dan keberhasilan G20 yang berlangsung di tengah tensi yang tinggi," kata dia.
Dewi menyebut ada sejumlah tantangan yang dihadapi Indonesia sebagai ketua ASEAN. Isu regional yang akan menjadi tantangan bagi Indonesia adalah penyelesaian krisis Myanmar dan perbedaan pandangan di antara anggota ASEAN.
Dari sisi eksternal, Indonesia harus berupaya melanjutkan negosiasi panduan tata perilaku (Code of Conduct/CoC) sengketa Laut China Selatan di tengah China yang makin agresif. Selain itu, kinerja Indonesia juga akan disorot dalam merespons isu-isu geopolitik, terutama dalam merespons dinamika dan rivalitas Amerika Serikat dan China serta peran ASEAN di Indo-Pasifik.
Namun penyelesaian krisis Myanmar menjadi sorotan utama dalam pemaparan Dewi. Dia menekankan tidak ada kemajuan dari Konsensus Lima Poin yang disepakati dua tahun lalu. Situasi di Myanmar justru makin memburuk.
Dewi mengatakan ASEAN harus mulai menunjuk utusan khusus tetap yang bersedia mendedikasikan tenaga dan waktunya untuk membantu Myanmar. Tugas utusan khusus untuk Myanmar saat ini memang diemban secara bergantian oleh menteri luar negeri dari negara yang menjabat ketua ASEAN.
Namun dua utusan khusus keketuaan ASEAN sebelumnya, yakni Brunei Darussalam dan Kamboja, belum berhasil membujuk pemimpin junta militer Myanmar Jenderal Min Aung Hlang untuk mengizinkan bertemu penasihat negara Aung San Suu Kyidan membuka dialog bersama pihak-pihak berkepentingan.
Menurut Dewi, utusan khusus tetap bisa membantu dalam menguraikan dan memahami masalah lebih dalam sehingga bisa dipercaya semua pihak.
Selain menetapkan utusan khusus permanen untuk Myanmar, ASEAN juga dinilai perlu meyakinkan mitra wicara, seperti China dan Rusia yang menjadi pendukung junta, agar mendukung ASEAN dalam mengatasi isu Myanmar.