Jumat 10 Feb 2023 18:28 WIB

Perempuan Jepang Enggan Menikah dan Punya Anak

Perempuan Jepang juga memikul beban pekerjaan rumah dan tugas mengasuh anak.

Rep: Rizky Jaramaya/ Red: Nidia Zuraya
Perempuan Jepang (ilustrasi). Perempuan Jepang semakin enggan menikah dan memiliki anak, karena terhalang oleh tekanan keuangan dan peran gender tradisional yang memaksa banyak orang berhenti bekerja ketika hamil. Secara tradisional, perempuan juga memikul beban pekerjaan rumah dan tugas mengasuh anak.
Foto: www.pxhere.com
Perempuan Jepang (ilustrasi). Perempuan Jepang semakin enggan menikah dan memiliki anak, karena terhalang oleh tekanan keuangan dan peran gender tradisional yang memaksa banyak orang berhenti bekerja ketika hamil. Secara tradisional, perempuan juga memikul beban pekerjaan rumah dan tugas mengasuh anak.

REPUBLIKA.CO.ID, TOKYO -- Perempuan Jepang semakin enggan menikah dan memiliki anak, karena terhalang oleh tekanan keuangan dan peran gender tradisional yang memaksa banyak orang berhenti bekerja ketika hamil. Secara tradisional, perempuan juga memikul beban pekerjaan rumah dan tugas mengasuh anak.

Seorang mahasiswa di Tokyo, Nao Iwai mengungkapkan bahwa dirinya tidak mau mempunyai anak. Keputusan ini diambil setelah dia melihat kakak perempuannya yang memiliki anak berusia dua tahun.

Baca Juga

“Dulu saya berpikir bahwa saya akan menikah pada usia 25 tahun dan menjadi seorang ibu pada usia 27 tahun. Tetapi ketika saya melihat kakak perempuan tertua saya, yang memiliki anak perempuan berusia dua tahun, saya takut memiliki anak," kata Iwai, dilaporkan The Guardian.

Iwai mengatakan, ketika punya anak di Jepang, seorang perempuan diharapkan berhenti bekerja dan menjadi ibu rumah tangga secara penuh. Perempuan juga memiliki tanggung jawab besar untuk menjaga dan mendidik anak-anaknya.

"Saya merasa sulit untuk membesarkan anak, secara finansial, mental dan fisik.  Pemerintah mengatakan akan memberikan dukungan yang lebih baik untuk keluarga dengan anak kecil, tetapi saya tidak terlalu percaya pada politisi," kata Iwai.

Seorang profesor di Universitas Sophia di Tokyo, Yuka Minagawa, mengatakan, tingkat kesuburan yang rendah merupakan gejala dari kemajuan yang dicapai wanita Jepang dalam beberapa tahun terakhir. Perempuan Jepang berhasil meraih pencapaian pendidikan yang lebih baik dan ada peningkatan jumlah perempuan di tempat kerja. Namun konsekuensinya, mereka menjadi enggan menikah dan memiliki anak.

“Faktor yang mungkin menyebabkan keengganan wanita Jepang untuk menikah adalah meningkatnya biaya pernikahan,” tulis Naohiro Yashiro, seorang profesor di Universitas Wanita Showa, dalam esai untuk situs web Forum Asia Timur.

“Dengan pendidikan yang lebih tinggi, lebih banyak perempuan muda yang memiliki upah yang sama dengan laki-laki, sehingga rata-rata masa pencarian pasangan mereka lebih lama.  Saat ini, rata-rata usia perkawinan pertama bagi perempuan adalah 29 tahun, jauh melampaui 25 tahun pada 1980-an ketika sebagian besar perempuan hanya lulusan SMA," kata Yashiro.

Populasi Jepang sebagai negara dengan ekonomi terbesar ketiga di dunia, menurun selama beberapa tahun dan mengalami rekor penurunan 644.000 pada 2020-2021. Populasi diperkirakan akan anjlok dari 125 juta menjadi sekitar 88 juta pada 2065, atau ada penurunan 30 persen dalam 45 tahun.

Jumlah orang yang berusia di atas 65 tahun terus bertambah. Kini jumlahnya mencapai lebih dari 28 persen populasi. Seorang wanita Jepang diharapkan memiliki rata-rata 1,3 anak selama hidupnya. Jumlah ini jauh di bawah rata-rata 2,1 anam yang dibutuhkan untuk mempertahankan ukuran populasi saat ini.

Pada 2021, jumlah kelahiran mencapai 811.604 atau terendah sejak pencatatan pertama kali dilakukan pada 1899. Penurunan jumlah kelahiran lebih cepat daripada yang diproyeksikan oleh pakar demografi.  Sebaliknya, jumlah centenarian mencapai lebih dari 90.500, dibandingkan dengan hanya 153 orang pada 1963.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement