Kamis 16 Feb 2023 01:25 WIB

Jelang Setahun Perang Ukraina-Rusia, Bakal Berakhir Damai Atau Makin Meluas?

Perang Ukraina menjadi lahan bisnis rekonstruksi pascaperang.

File -- Prajurit Ukraina menembak ke arah posisi Rusia di garis depan dekat Kherson, Ukraina selatan, Rabu, 23 November 2022.
Foto: AP Photo/Bernat Armangue
File -- Prajurit Ukraina menembak ke arah posisi Rusia di garis depan dekat Kherson, Ukraina selatan, Rabu, 23 November 2022.

REPUBLIKA.CO.ID, KIEV -- Pekan depan invasi Rusia ke Ukraina akan genap satu tahun. Apa yang awalnya disebut Presiden Rusia Vladimir Putin sebagai operasi militer khusus itu ternyata menjadi perang berkepanjangan nan kian berlarut-larut. Seperti sering terjadi dalam sejarah umat manusia, memulai perang itu mudah, tapi mengakhiri perang itu sungguh perkara yang sulit.

Serangan kilat Nazi Jerman pada Perang Dunia Kedua dari akhir 1930-an memang membuat pendulum perang berpihak kepada Jerman sampai 1943, tapi perang malah mempersatukan mereka yang menentang Jerman. Begitu pula dengan Jepang pada Perang Dunia Kedua yang justru memupuk perlawanan semesta di seantero Asia.

Baca Juga

Intervensi Amerika Serikat di Vietnam pada 1965 juga tak menyudahi perang di Indochina. Sebaliknya, konflik menjadi makin berlarut-larut dan menelan korban yang terus membesar.

Demikian pula Uni Soviet di Afghanistan pada 1979. Bahkan Rusia yang menjadi pewaris Uni Soviet melewati periode berdarah-darah ketika menghadapi separatisme Chechnya dengan perang dan bombardemen pada 1994-1995 dan 1999-2009.

Perang terakhir yang dilalui singkat oleh Rusia adalah Perang Georgia pada 2018, selain aneksasi Semenanjung Krimea pada 2014.

Putin berusaha mengulangi sukses perang kilat di Georgia dan Krimea pada 24 Februari tahun lalu. Ternyata, operasi militer ini tak berakhir sesingkat yang diharapkan.

Perang Ukraina malah akan genap memakan waktu saat tahun. Kini, baik Rusia maupun Ukraina, mempersiapkan diri menghadapi situasi perang yang makin buruk. Mereka berpacu dengan waktu untuk mencapai kemenangan paripurna.

Awalnya Ukraina sukses membalikkan pendulum perang sampai bisa merebut kembali kota Kherson pada pertengahan November tahun lalu.

Namun, Rusia sudah beradaptasi dengan situasi di medan perang dan belajar dari rangkaian kemunduran mereka di medan perang sebelum ini.

Rusia pun menemukan lagi pijakannya sampai bersiap melancarkan operasi militer besar-besaran yang bertepatan dengan setahun invasi mereka di Ukraina.

Semakin sulit dihentikan

Pertanyaannya, apakah momentum yang lagi dipegang Rusia ini membuat Ukraina dan Barat, khususnya Amerika Serikat, mundur dari posisi politiknya? Jawabannya, kecil kemungkinannya, mengingat mereka sudah mengerahkan begitu banyak sumber daya, mulai dana sampai senjata.

Lagi pula, situasi sama terjadi saat Ukraina mencapai kemajuan di medan perang beberapa bulan lalu, Rusia pun sama sekali bergeming dari posisinya.

Yang ada, kedua belah pihak terus meningkatkan pengerahan kekuatan militer pada tingkat maksimum, sampai-sampai hal yang dulu tabu dilakukan, sekarang malah menjadi opsi utama.

Eropa dan Amerika Serikat misalnya. Mereka kini tak lagi sungkan-sungkan memasok Ukraina dengan tank tempur canggih seperti Leopard 2, jet tempur seperti F-16, dan sistem artileri berat berdaya jangkau jauh.

Padahal ketika memutuskan mengirimkan perangkat perang canggih seperti M142 HIMARS (High Mobility Artillery Rocket System), AS membuat batasan bahwa sistem peluncur roket presisi tinggi ini tak boleh dipakai untuk meluncurkan rudal yang bisa mencapai wilayah Rusia.

Kini, pemerintahan Presiden Volodymyr Zelenskyy meminta pesawat tempur canggih kepada Barat. Sejumlah negara yang menjadi anggota Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) mengamini keinginan Ukraina itu. Padahal pesawat-pesawat tempur seperti F-16 bisa membuat Ukraina menyerang jauh ke dalam wilayah Rusia.

Hal yang beberapa bulan lalu dikesampingkan NATO pun kini menjadi pilihan nyata di medan perang. Ukraina bahkan sudah mendapatkan lampu hijau dari Polandia untuk mendapatkan pesawat tempur F-16 yang diyakini bakal mengimbangi superioritas udara Rusia dan menekan kemampuan Rusia dalam melancarkan bombardemen jarak jauh.

Para pemimpin terkemuka Eropa lainnya seperti Presiden Prancis Emmanuel Macron pun tak mengesampingkan opsi memasok Ukraina dengan jet tempur Barat. Oleh karena itu, setiap kemajuan perang oleh salah satu pihak, akan membuat pihak lainnya kian agresif mencari alat perang yang lebih andal dan lebih maut, sehingga perang semakin sulit dihentikan dan mungkin bisa meluas ke mana-mana.

 

 

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement