REPUBLIKA.CO.ID, BEIJING -- Cina dan Iran mendesak Taliban mencabut semua pembatasan yang diterapkannya terhadap kaum perempuan Afghanistan. Pembatasan itu termasuk dengan melarang mereka berkuliah dan bekerja.
“Kedua belah pihak meminta para penguasa Afghanistan membentuk pemerintahan inklusif, di mana semua kelompok etnis dan kelompok politik benar-benar berpartisipasi, serta membatalkan semua tindakan diskriminatif terhadap perempuan, etnis minoritas, dan agama lain,” kata Cina dan Iran dalam sebuah pernyataan bersama, Kamis (16/2/2023).
Pernyataan tersebut dirilis seusai Presiden Iran Ebrahim Raisi melakukan pertemuan dengan Presiden Cina Xi Jinping di Beijing. Menurut Beijing dan Teheran, Amerika Serikat (AS) bertanggung jawab atas situasi yang kini berlangsung di Afghanistan.
Awal bulan ini, otoritas Taliban memukuli dan menahan seorang dosen jurnalistik senior di Afghanistan, Ismail Mashal. Penganiayaan itu dilakukan karena Mashal secara terbuka menyuarakan kecaman dan protes atas keputusan Taliban yang melarang perempuan Afghanistan berkuliah.
"Mashal dipukuli tanpa ampun dan dibawa pergi dengan cara yang sangat kurang ajar oleh anggota Imarah Islam (Taliban)," kata ajudan Ismail Mashal, Farid Ahmad Fazli, 3 Februari lalu, dikutip laman Al Arabiya.
Fazli mengungkapkan, penangkapan terhadap Mashal terjadi pada 2 Februari. Padahal dosen yang mengajar di tiga universitas di Kabul itu tak melakukan kejahatan apa pun. “Dia masih dalam tahanan dan kami tidak tahu di mana dia ditahan,” ujar Fazli.
Taliban mengonfirmasi penahanan terhadap Mashal. “Guru Mashal telah melakukan tindakan provokatif terhadap sistem selama beberapa waktu. Badan keamanan membawanya untuk penyelidikan,” kata Direktur Kementerian Informasi dan Kebudayaan Taliban Abdul Haq Hammad, lewat akun Twitter-nya.